Aku mulai panik. Soalnya, maksimal induksi yang diperbolehkan oleh medis adalah 4 botol. Kalau masih gak bereaksi, induksi dinyatakan gagal. Lha kalau 1 botol 1 bukaan, apa artinya? Makhluk dan suara di pikiranku berlarian kesana kemari tanpa bisa ku kontrol. Dokter sudah mulai memberi opsi untuk SC. Ibu yang denger kalimat itu, ikutan tegang. Bahkan ibu membujuk aku dan suamiku agar berhubungan badan, biar mempercepat kontraksi. Agak susah dicerna ya, mana bisa coba? Ibu bisa ngasih saran ini gegara abis telponan sama saudaraku yang sudah melakukan cara serupa dan sukses lahiran normal.
Ibu berusaha
memberikan aku kesempatan untuk ngobrol ama saudaraku ini. Aku udah mutung dan
sedih. Sangat nggak mood dan hampir putus asa. Tapi suara diseberang telepon
berusaha memberi semangat dan sugesti positif. Terakhir, dia katakan bahwa cara
apapun anakmu lahir, kamu tetep seorang ibu yang baik.
Pasca diskusi
sama suami, suasana makin dramatis. Dengan terbuka aku katakan kepada orang
tuaku, bahwa aku SC saja sekarang. Sebab aku nggak mau membebani mereka dengan
biaya yang besar, tersebab tidak adanya kepastian dari proses induksi ini.
Makin lama induksi, makin lama ngamar, makin besar biaya. Jadi mumpung masih
segini, aku yakin tidak akan jatuh mahal.
Denger
perkataan itu, ayah ibuku malah nangis. Mereka katakan kalau aku nggak perlu
mikirin biaya. Yang penting berjuang dulu untuk lahiran normal. Mereka
mendukung.
Semangatku udah
diujung tanduk.
Sejak sore
hingga malam hari, aku irit bicara. Pas aku mau tidur, ada seorang kerabat yang
menjenguk. Dia kebetulan seseorang yang diberi Allah karunia untuk melihat
sesuatu-yang-nggak-bisa-aku-lihat. Sempat dia sarankan agar aku melepas semua
perhiasan yang aku pakai, kemudian dia juga sampaikan 1 kalimat “ini masih
tarik menarik”. Aku nggak paham, siapa yang menarik siapa yang ditarik. Tapi
beliau ngasih semangat juga, bahwa si Mahira di perut semangat juangnya tinggi
untuk lahiran normal. Jadi aku ga boleh surut, begitu katanya. Insya Allah
lahir besok (tanggal 12). Masih aku ingat jelas ucapan demi ucapan beliau.
Nggak cukup
sampai disitu, Ibu juga bertanya ke temannya yang juga dikasih Allah
"kelebihan". Kata ibu, temannya ini ngasih sinyal positif. Sama
seperti sebelumnya, beliau juga ngasih tanggal, besok. Tanggal 12 Juni,
maksudnya.
Makin aneh,
saat keesokan paginya, ayah menelepon (saat itu ayah di Lumajang) dan meminta
tolong agar ibu mengguyur aku dengan air aqua gelas yang udah dibacain beberapa
surat. For sure, Dad??? Ayah aku paling anti sama yang beginian. Kenapa
sekarang jadi berubah 180 derajat? Belakangan aku paham karena ibu cerita, ayah
sempat tanya sama mbah uti tentang proses lahiran SC. Rupanya tidak ada satupun
keluarga besar yang lahiran dengan proses SC. Darisitu keluarga besar di
Lumajang agak was-was kalau aku lahiran dengan proses SC.
Dorongan untuk
lahiran normal juga datang dari Ibu mertuaku. Melalui telp, Ibuk cerita kalau
ada mbak ku disana yang matanya minus 5 tapi bisa lahiran normal. Ibuk yakin
banget kalau akupun bisa. “Billa bisa ya lahiran normal..”
Nggih Bu, insya
Allah, pandonganipun. Jawabku.
------
Tanggal 12, aku
lupa persisnya jam berapa, aku memulai induksi botol ketiga. Hampir sama
seperti sebelumnya, diawal induksi aku sempat tertidur pulas. Dan bukaan pun
baru naik dua.
Namun, hari ini
aku lebih tenang. Sebab semalam, aku sudah mengadu habis-habisan ke Allah.
Malam hari,
pukul 23.00, setelah aku memasuki botol keempat, aku minta suami menemani aku
berjalan keliling ruang bersalin. Makin malam aku makin semangat, aku yakin
kalau sebentar lagi bukaanku akan naik kilat, sebab aku mulai merasa sakit dan
nyeri yang lebih dari sebelumnya. Selama 1 jam kami berjalan, suster
menyarankan agar aku istirahat saja. Kami pun manut. Aku tidur, sementara mamas
lanjut ngetik. Iya, dia sih dapet izin nemenin istrinya lahiran tapi ya gitu,
kerjaannya dibawa pulang. Sementara ibuku gantian tidur di kamar.
Hari ini terasa
lebih ringan, sebab ada rasa penerimaan dari kami, dari aku suami dan ortuku.
Kami bahkan bisa bersenda gurau lebih lepas. Sore itu, ayah juga baru datang
dari Lumajang dan langsung menjenguk aku di ruang bersalin.
Pukul 02.00 aku
terbangun karena ada aliran air yang sangat deras mengalir keluar dari tubuhku
melalui jalan lahir. Aku memekik, mamas!! ia dengan sigap terbangun. Ini apa
mas?? Ini ketuban mas!!
Aku tanya dan
menjawab sendiri saking gupuhnya.
Warnanya apa
mas? Keruh nggak??
Mas angga yang
juga gupuh buru-buru nyalain lampu. Kami berdua khawatir kalau airnya keruh,
sebab itu pertanda si gendhuk bab di dalam perut dan berpotensi keracunan air
ketuban.
Alhamdulillah
jernih be, kata mamas.
Segera ia
panggil suster dan bantalanku pun di ganti. Aku resmi nggak bisa sholat, karena
kalau berdiri sudah pasti amber.
Nah, baru ini
aku sadar tentang kebenaran kata orang yang udah lebih dulu pengalaman. Kalau
ketuban pecah, kontraksi makin menjadi. Itu kata mereka yang lahiran normal
lho. Kalau induksi?
DOUBLE IT.
TRIPLE IT.
Rasa sakitnya
berlipat-lipat. Tapi aku justru makin semangat. Aku tau, waktunya sebentar
lagi. Aku hanya perlu bersabar sedikit lagi. Dokter menanyakan, apa aku masih
kuat? Ku jawab, masih dok, dengan merintih kesakitan.
Pada titik ini,
semua saran dari suster di kelas Prenatal Yoga bubar jalan.
Yang ada, aku
teriak-teriak kesakitan
Huaa sakit mii,
gosok punggung mi, gosok depan mii. Kasian ibuku, kebingungan ngegosok yang
mana. Pasalnya, kontraksi datang makin sering, 15 menit sekali, 10 menit
sekali. Aku pun dilarang tidur hadap kanan, harus hadap kiri which is
itu posisi yang bikin sakit. Apa daya aku manut aja. Bahkan suami pas gak
sengaja numpahin air putih di badanku, aku (tanpa sadar) ngomel-ngomel.
Emosi yang gak
stabil ini, karena beberapa hal. Pertama, aku kurang tidur dan sangat lelah. Could
you imagine, aku sudah berapa hari di RSIA dan melewati berapa botol
induksi? Kedua, karena emang rasanya sakit banget.
Saat rasa sakit
itu hilang, suami duduk tepat dihadapanku. Ibu duduk di belakangku / bagian
punggungku. Tiba-tiba suami nyanyi, entah kenapa aku sangat terganggu. Spontan
aku bilang,
“jangan nyanyi,
sam,”
“lho kenapa,
aku kan pengen menghibur kamu,”
“aku gak merasa
terhibur,” jawabku lugas.
Ternyata, ibu
ngikik di belakang, menahan tawa. Ibu kaget aku kok jutek amat sama suami. Aku
juga gak sadar sih hehe..
------
Tibalah waktu
yang paling ku benci: mengecek bukaan. Tapi anehya, kali ini aku justru
semangat. Aku menanti tiap kata yang akan meluncur dari mbak suster. Pagi
sekitar jam 6, suster masuk ke ruanganku.
“mulai sakit
ya?
“iya sakit
baget mbak”
Beliau
tersenyum sambil mulai ogok-ogok. Aku hanya pasrah dan berpegangan erat pada
gagang kasur. Ini akan segera berakhir, sedikit lagi, pikirku.
Tapi apa yang
terjadi?
Muka si mbak
lesu.
“masih jauh
sekali, masih di bukaan 4”
Aku shock dan
sedih. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa rasa sakitku yang teramat sangat itu
sia-sia saja?
Fyi, setelah
ketuban pecah, harus segera ada tindakan. Sebab, air ketuban di dalam perut
mulai menipis, it means bayi pun akan susah bernafas karena lapisannya udah
berlubang dan ada udara yang masuk. Maksimal waktu tunggu adalah 24 jam.
Saat itu waktu
berjalan sangat cepat, begitu pula orang-orang disekitarku yang lalu lalang.
Aku pusing dan tidak bisa berpikir jernih saking ngantuk dan lelahnya.
Suster
menelepon dokter Indra dan dokter pun memutuskan untuk operasi dan menghentikan
induksi. Kami mengiyakan. Detik berikutnya, suamiku harus mondar-mandir
mengurus berkas dan dokumen. Sementara aku? Masih terus kesakitan, kontraksi
nya ternyata masih terus datang. Aku membayangkan Mahira di perut cuek dan
nyantai aja di goyang-goyang sama cairan induksi. Ngopi-ngopi dulu, Bun.
Operasi ini
dadakan. Mendadak pula aku dilarang makan pada pagi itu, diminta untuk puasa
sampai operasi nanti. What the?! Aku lelah, ngantuk, sangat lapar, dan
sekarang nggak boleh makan? Gils! Nggondok banget deh aku.
Sambil menunggu
dokter Indra yang gak dateng-dateng, suster menyiapkan segala keperluan,
termasuk tanya, mau dokter anak siapa? Aku agak lupa namanya. Aku sebut dua
nama,
“dokter Dini.
Eh atau dokter Diana ya? Pokoknya yang pakai jilbab,”
“oh dokter Dini
mbak”
“nah iya itu”
Lain waktu
insya Allah aku ceritakan mengapa aku jatuh hati sama dr. Dini.
Begitu dokter
indra dateng, beliau menyambut dengan senyuman dan kalimat-kalimat positif gitu
lah. Eh ternyata gak bisa langsung operasi gegara nunggu antrean.
Ya Rabbi, ini
udah sakit banget kontraksinya hiks. Mana dr. Indra pun terakhir ngecek masih stuck
di bukaan 4.
Saking kacaunya
aku, sempet aku merengek ke ibu, “mi bisakah aku tidur dulu bentar, operasinya
entaran aja?”
------
Suster sempat
bertanya kepadaku, ingin ditemani siapa di dalam ruang operasi? Aku dengan
cepat menjawab: Ibu. Suamiku langsung lemes, waduh, bukannya aku ga mau
didampingin suami. Cuman memang ibuku bisa lebih sigap jika ada apa-apa. Dan
ini kan lahiran pertama, sudah pasti satu-satunya rasa yang ada dipikiran
adalah makin cinta sama Ibu.
Setelah ruang
operasi siap, dokter Indra menghampiri aku.
“wah, hari ini
kebetulan sekali, semua dokter seolah sudah siap tanpa kita perlu menelepon.
Biasanya harus tunggu-tungguan lho dan janjian dulu. Apalagi ini operasi
dadakan,”
Ibu langsung
berbisik kepadaku, “memang ini jalannya nduk,”
Aku mengangguk
setuju. Bismillah aku siap.
Aku masuk ke
ruangan operasi yang lebih mirip kulkas raksasa saking dinginnya. Apalagi aku
kan telanjang bulat, hanya pakai baju operasi, jadi rasa anyes nya itu
merasuk ke tulang. Lalu kasurnya.. oh, ini kasur apa beton? Semua dokter di
dalam ruangan terlihat ceria, sesekali mereka guyon. Aku lihat dokter Dini
masuk ke ruangan, ia mengenakan turban warna hitam dan kemeja putih. Lengkap
dengan kacamata dan aksesoris di lehernya yang super modis. Seorang dokter
memintaku untuk duduk sambil mendekap lututku erat. Agak susah ya, ganjelan di
perutku ini gede banget lho.
“sebentar ya
mbak, kita cari dulu pusat sarafnya,”
Ooh.. ahli
syaraf, pikirku. Nggak lama kemudian, mak clekit! Jarum suntuk ditujeskan ke
punggungku, merasuk ke tulang. Kemudian aku diminta berbaring dan tubuhku
diangkat kesana kemari. Lama-lama aku mulai merasa gringgingan / kesemutan, dan
tidak lagi merasakan sentuhan tangan para dokter. Suster mengatakan akan
memasang kateter, aku berpesan, hati-hati ya mbak.
Bener aja,
makjes, obat biusnya belum bekerja maksimal. Aku masih kelaran (kesakitan).
Tapi bisa ditahan sih. Sampai titik ini aku belum paham, kenapa aku butuh
kateter? Toh nanti tinggal pipis aja, dan aku bisa kok nahan pipis selama
operasi berlangsung.
Tepat pukul
10.00, tanggal 13 Juni dr. Indra memulai operasi. Ia meminta kami berdoa dulu.
Beberapa menit kemudian, aku mulai panik, entah kenapa aku nggak bisa bernafas
dengan baik karena suhu ruangan yang terlalu dingin dan kepalaku yang sejajar
dengan tubuh bikin hidungku tersumbat. Selang oksigen yang nancep dihidung dan
harusnya berfungsi membantu pernafasan, malah terasa sangat mengganggu.
Aku, tanpa
sadar, meminta tolong sama suster laki yang lewat dengan nada panik.
“mas, tolong
saya gak bisa nafas”
“mas, ibuku
kemana? Kok ga ada? Tolong izinkan masuk ya mas. Atau suamiku saja, tolong
ya..”
Si masmas nggak
banyak cakap, hanya bilang “ya” sambil membetulkan posisi selang oksigen.
Kemudian ia beberapa kali menambahkan cairan ke tubuhku melalui pipa kecil
ditanganku. Aku merasa lumpuh, tidak bisa menggerakkan tangan dan jemariku. Aku
tidak lagi ingat apa-apa hingga aku sedikit tersadar pada pukul 10.35, saat itu
para dokter bergantian mengatakan:
“selamat ya
mbak, baby nya cantik sekali,”
Ah, anakku
sudah lahir rupanya. Tapi mana tangisannya? Mana IMD nya? Kenapa tidak
ditunjukkan ke aku? Aku panik lagi dan berteriak,
“anak saya mana
dok? Saya ingin IMD, saya kok nggak denger suara tangisannya? Saya belum lihat
wajahnya dok???”
Teriakanku
tidak dihiraukan, mereka terus bekerja tanpa aku ketahui, sebab ada tirai
penutup di atas perutku. Hanya seorang perawat yang kembali datang untuk
memasukkan cairan ke dalam tubuhku. Entah apakah aku tertidur atau tidak sadar,
aku nggak tau. Aku hanya tidak bisa dengan jelas melihat maupun mengingat apa
saja yang terjadi waktu itu.
Aku betul-betul
nggak ada daya. Dan aku belum melihat wajah anakku.
------
Kasurku
bergerak, mereka mendorongnya keluar ruangan. Setelah pintu terbuka, aku melihat
ibuku disana, menunggu aku keluar. Nggak tau suamiku dimana. Aku tersenyum lega
karena anakku sudah keluar dari perutku, tapi aku belum sepenuhnya sadar. Aku
ingat betul saat masuk ke ruang pemulihan, yang aku lakukan hanya merem-melek,
toleh kanan dan kiri tanpa pandangan berarti. Ibu kemudian menghampiriku sambil
tersenyum dan mengatakan bahwa Mahira cantik dan badannya besar, mas Angga
sedang di ruangan bayi untuk motoin.
Aku lega. Aku
kembali merem-melek, sampai aku betul-betul tersadar saat ibuku menunduk sambil
menangis di sampingku. Heran, aku bertanya ke Ibu, kenapa menangis? Bukankah
seharusnya bahagia sebab Mahira sudah lahir dengan selamat? Ibu hanya menjawab,
“oh enggak, ini
lho tante Catherine. Mas angga tak minta kesini ya,”
Aku mengiyakan.
------
Dia
menghampiriku dengan sarung dan kaos merahnya yang bertulis “Islam is Awesome”.
Segera ia duduk disampingku sambil menunjukkan video dan foto-fotonya Mahira.
Aku pun trenyuh dan menangis melihat anakku dari kamera handphone dan mendengar
suara tangisannya yang cempreng. Segera aku tersadar, itu selang apa??
Mas kemudian
menerangkan kalau Mahira sekarang ada di NICU dan selang itu untuk membersihkan
paru-parunya. Botol infus disampingnya adalah antibiotik. Ia lalu menangis
sambil memegang tanganku dan meminta maaf. “maaf ya be kalau mas belum banyak
membantu kamu, belum banyak baca,” ujarnya.
Aku cuma bisa
tersenyum, karena memang aku belum bisa menggerakkan anggota badanku. Rupanya
aku ini dibius full, sebelumnya dokter bilang kalau aku hanya dibius dari perut
ke bawah. Ini mah dari leher ke bawah. Saat aku mulai bisa menggerakkan
tanganku, aku memegang dadaku. Dan apa yang aku rasakan? Gak kerasa apa-apa
saudara. Aku nggak bisa merasakan sentuhanku sendiri.
Setelah
kesadaranku mulai pulih, aku jadi ikut menangis dan berpikir bahwa ini salahku.
Kenapa aku nggak ngotot SC aja dari kemarin. Tangisanku makin deras saat aku
melihat di tangan mahira tertancap selang infus. Ya Allah, pemandangan nyatakah
ini?? Mana tega aku melihat tangan mungilnya sudah ditujes-tujes sama jarum.
Pada saat itu
Dokter Dini masuk ruanganku dengan senyum yang merekah. Dia menenangkan ku yang
masih terisak. Aku mengatakan ke dokter Dini bahwa aku tadi belum IMD dan
anakku belum minum ASI ku. Dokter Dini kembali menepuk pundakku dan berkata,
“it’s okay, anakmu baik-baik saja,”
------
Mamas cerita
bahwa ia tidak pernah melihat ayahku sangat terisak seperti ini sebelumnya.
Saat aku masuk ruang operasi, ayah menangis. Ia makin menjadi saat melihat
Mahira keluar dari ruangan operasi dengan kondisi kesulitan bernafas. Saat itu
suster terburu-buru membawa Mahira ke NICU.
Apa yang
terjadi dengan Mahira?
Air ketubanku
yang pecah, bikin Mahira susah nafas selama di dalam perut. Begitu berhasil
nyembul dan keluar dari perutku, ternyata Mahira enggak menangis which is itu
pertanda yang kurang bagus. Pantes aja aku nggak denger suara tangisannya.
Mahira kecil
malah terbatuk sambil berusaha kuat untuk beradaptasi dengan oksigen. Itulah
mengapa nafasnya sempat tersengal-sengal dan segera dilarikan ke NICU plus
dikasih selang oksigen di hidungnya, dan kayaknya dikasih juga selang ke
mulutnya. Mahira juga diberi antibiotik karena sudah dikhawatirkan banyak
bakteri yang masuk ke tubuhnya.
Apa dayaku?
Duduk saja aku belum bisa. Aku masih terpisah beberapa meter dari anakku.
------
Di dalam kamar,
suster berpesan kepadaku, setelah 6 jam aku boleh minum air putih. Kalau nggak
mual, boleh lanjut makan roti dan makan nasi , tidak perlu menunggu kentut
datang (abis operasi, kentut ini penting banget lho!)
Dia juga
berpesan, agar aku terus tenang dan bahagia agar ASI lancar. Nanti malam, ada
suster yang akan mengambil ASI ku melalui spuit.
Meskipun aku
sempat bersedih karena banyak hal diluar rencana dan kontrolku sebagai manusia,
aku juga gak dapet momen IMD sama si cinta, tapi mataku berbinar saat melihat
cairan kolostrum mengisi 3 spuit secara penuh. Cairan kuning gading itu, tanda
cintaku untuk Mahira. Suster menyemangati aku untuk belajar duduk dan pipis
sendiri.
“ayo mbak harus
semangat ketemu anaknya, luka paska operasi harus terus dilatih agar rasa
sakitnya berangsur hilang,”
Aku bersyukur
rasa nyeri paska operasi tidak aku alami. Atau mungkin aku yang sudah terlanjur
kuat gegara kontraksi hebat dari induksi. Syukurku bertambah saat mamas
mengajariku untuk duduk dan berjalan singkat. Kurang dari 24 jam pasca operasi,
aku sudah bisa jalan!
Sambil
memegangi perutku yang besar (yes, perutku masih besar kayak hamil 5 bulan) ,
aku berjalan tertatih ke ruang bayi. Pagi ini, Mahira sudah nggak diselang, ia
dinyatakan sehat dan sudah dipindah di ruang bayi bersama teman-teman
seangkatannya yang lain.
I couldn't be
happier. Mahira seolah
merasakan kehadiranku, ia langsung nangis dan merespon dekapanku dengan hangat.
Untuk pertama kalinya, ia menyusu langsung dari tubuhku.
Bener kata
orang-orang, rasa sakit itu seketika hilang. Allah menggantinya dengan kekuatan
berkali-kali lipat.
Pada akhirnya,
kelahiran Mahira ini adalah salah satu bukti nyata bahwa hanya Allah yang punya
kuasa. Walaupun manusia punya ilmu (dikasih ilmu ya lebih tepatnya) untuk
intip-intip dibalik tirai, tetap saja Allah yang pegang kendali.
Proses
kelahiran Mahira ini, bagiku, adalah bukti nyata kuasa Allah.
------
Beberapa bulan
setelah kelahiran Mahira, juga setelah perutku mulai mengecil, aku bisa melihat
luka operasiku dengan jelas. Aku dan mamas sama-sama punya luka operasi di
tubuh. Kita imbang. Satu sama.
Memang aneh
rasanya, sekilas terlihat seperti ada seekor gastropoda tanpa cangkang yang
menempel di perutku. Aku sendiri geli mau megang. Luka ini juga jadi buah
bibir, mulai dari support, hingga (tanpa sadar) cemo’oh dari mulut sebagian
orang. Aku tau, pasti mereka berucap perihal yang nyelekit itu tanpa mereka
sadari. Aku juga sadar, ucapan-ucapan mereka itu justru menunjukkan siapa diri
mereka, pergaulannya, wawasannya, pendidikannya. Aku nggak punya pilihan lain
selain maklum, dan berkata kepada diriku sendiri :
Ya Allah,
jadikanlah lukaku ini sebagai satu tiketku untuk dapat memasuki surgamu. Kelak
jika penjaga pintu surga bertanya, apa kamu punya hak masuk ke dalam? Izinkan
satu tanda horizontal pada tubuhku ini menjadi saksinya, penjadi free pass-nya.
si cinta |
Bilaaa kamu nggak sendiri kok.sini pelukan bareng haha. Aku juga mirip banget sama kamuu..42weeks bukaan baru 1 gak naik2, udah induksi 2 botol. Ditawarin botol ketiga sama dokter tapi suami gak setuju, nyuruh langsung SC soale aku wes lemes.
BalasHapusYg penting mahira sehat2 terus yaaa Insya Allah jadi anak sholihah cerdas kaya bundanya :)))
ya Allah Zahraa... peluuuk! warbyasa perjuangannya yaa.. aamiin, semoga si thole jadi anak salih juga aamiin kisskisskiss
Hapus