Salah satu sunset terindah yg pernah ku saksikan. Higasi Hiroshima, 4 Desember 2013. Maha Besar Allah.. |
Sekitar 3 minggu yang lalu, aku kesal bukan main. Travel
yang seharusnya menjemput jam 2 siang, baru datang jam setengah empat sore.
Ingin rasanya meluapkan amarah ke si supir, namun melihat wajah sumringah si
supir dan caranya meminta maaf memuatku mengubur dan melupakannya pelan-pelan.
Dia memintaku untuk memaklumi keterlambatan dalam penjemputan. Dongkolnya aku
adalah travel yang kali ini aku gunakan, memberikan fasilitas penjemputan pada
setiap jam – jam genap (2, 4, 6, dst). Lah kalo ngga bisa memberikan pelayanan
sesuai yang dijanjikan, mengapa berjanji? Makin bete ketika aku ditempatkan di
depan, samping si supir.
Dan dari gelagatnya, masih ada satu orang lagi yang belum di jemput.
“ini masih ke juanda pak?”
“Iya mbak, hmm, lewat mana ya?”
Payah banget ini si supir, pikirku. Sebagai supir travel
seharusnya dia bisa dengan mudah mengetahui jalan tikus dari rumahku ke juanda,
yang kebetulan dekat banget dan banyak diketahui oleh kendaraan umum. Memang
ini bukan travel yang biasa ku gunakan, dan aku pun akan lebih memilih untuk
pulang sendiri naik bis lalu ngangkot, jika saja aku tidak terbebani oleh koper
biru gede. toh pada akhirnya, seseorang yang seharusnya dijemput di Juanda, ngga jadi naik travelnya, entah kenapa.
Perjalanan surabaya – malang ditempuh hanya dalam waktu satu
setengah jam, padahal sore hari sekitar jam 4 – 7 malam adalah saat – saat rush hour, yakni dimana macet biasa
menjadi macet banget nget nget.
Di tengah jalan tol, aku yang sudah jengkel nemen sampe
kepala pun ikut mumet, lantaran si supir juga ngerokok dan kemudian aku tegur. Tiba-tiba saja sebongkah pemikiran jernih muncul, meredam amarah yang meluap liar.
Sabar. Sabar. Sabar.
Begitu kira – kira, satu kata yang klise yang berbisik lirih
yang sering
menjadi ucapan andalan para tipe teman pendengar.
Sabar, sudah, sabar saja ya…
Bersabar, tidak selalu dikaitkan dengan menunggu. Bagiku, si
“sabar” terlalu besar, terlalu mewah untuk disandingkan hanya dengan “menunggu”.
Bagaimana jika kita gabungkan dengan:
Bersabar, orang lain juga perlu belajar.
Bersabar, pantaskan diri di hadapanNya.
Atau, ada redaksional lain yang lebih indah?
***
Kejadian travel mengingatkan bahwa pencapaian tiap manusia
berbeda, pencapaian yang merupakan buah dari usaha yang juga berbeda dari
manusia. Pencapaian A bisa jadi lebih cepat dan progresif daripada si B, C, dan
seterusnya. Maka dalam kehidupan tim, ataupun konsep berjamaah , pentingnya
kesabaran tidak hanya dalam menunggu, tetapi juga bersabar untuk sebuah
pembelajaran orang lain. Siapa tahu, Allah sedang memberikan pelajaran bagi si
Fulan, yang kita pun masuk skenario di dalamnya. Maka beruntunglah orang –
orang yang mampu bersabar dan saling menasihati dalam kebaikan.
Begitu kali ya, singkatnya?
***
6 Desember 2013 kemarin,
rasa haru, sedih, senang, penasaran, lagi reuni. Jutaan rasa menemaniku yang sedang memandang sekumpulan awan di luar bak gumpalan kapas. Matahari pagi terasa hangat, menemani kami yang perlahan meninggalkan Jepang.
Aku kembali bertanya tentang sebuah pertanyaan samar yang terbersit kira – kira sebulan yang lalu. Yang kemudian menguat juga, pada akhirnya. Aku tersadar betul bahwa aku sedang larut dalam pusaran rahasiaNya, yang mendebarkan, mengejutkan, dan semoga saja hati ini turut ikhlas dan menerima dengan kesyukuran.
Kebetulan macam apa lagi ini?
Inginku, tidak ingin mendahului kehendakNya, wallahu a'lam
Allah Lebih Tahu, Maha Tahu.
Tidak ada komentar