Kenalin, aku Nabilla si anak google.
Apa-apa googling. Cari penjahit googling, cari admin buat La Desya
googling, cari obat mencret googling, cari bakso enak googling, dan cari dokter
anakpun googling. Alhamdulillah, sejauh ini google gak mengecewakan. Thanks
bruh!
Pertemuan pertamaku dengan Dokter Dini
berada di halaman google. Saat kehamilanku memasuki usia 8 bulan, aku mulai
seraching dokter anak di surabaya. Masuk ke beberapa forum emak-emak, aku
mengantongi beberapa nama. Entah gimana ceritanya aku ngga ingat persis, aku
nyasar ke sebuah notes facebook seseorang yang mengulas dokter dini dan sebuah
seminar tentang anak yang mana disana beliau jadi pembicara. Baca baca dikit,
aku mbatin: kayaknya ini dokter gue banget nih. Di akhir tulisan, aku
baca bahwa dokter Dini praktik di RSIA Kendangsari. Cucok! Sebab aku memang
rencana lahiran disana dan dokter Indra Yuliati SpOG (K) yang merupakan dokter kandunganku juga pun juga praktik disana.
Sebelumnya , aku berpikir bahwa dokter
anak hanya akan dibutuhkan nanti saat imunisasi atau sakit atau untuk
konsultasi menyusui. Ternyata aku salah. Begitu si baby lahir, tanggung jawab
dokter anak ikut lahir. Disanalah dokter anak mulai menangani bayi, makanya
kalau operasi, dokter anak selalu ikut masuk.
Setelah dapet info di google itu,
jujur saja aku nggak cari tau lebih lanjut tentang dokter Dini di RSIA
Kendangsari. Aku hanya buka-buka website beliau dan mengingat
namanya. Pas suster tanya sama aku waktu mau operasi, spontan saja aku sebutkan
nama beliau.
"Saya sama dokter Dini, yang
berjilbab itu," ujarku sambil teler abis induksi. Cerita lengkapnya bisa klik link ini.
Alhamdulillah wa syukurilah. Kami
berjodoh. Anakku berjodoh dengan dokter dini.
Allah mempertemukan kami di dunia
nyata, kebetulan sekali saat itu dokter Dini memang ada jadwal di RS, secara
aku operasi nya spontan. Jadi mana sempat janjian dulu. Saat dokter Dini masuk
ke ruang operasi, aku tau persis itu beliau. Gayanya khas. Dokter Dini selalu
menggunakan hijab turban, berkacamata, dan makin lengkap dengan aksesoris seperti
kalung dengan nuansa bohemian. Tampilan beliau selalu unik dan khas. Senyum
manis beliau selalu merekah.
Aku dan suami nggak berhenti bersyukur
dijodohkan dengan dokter Dini. Sebab, pasca melahirkan, dokter Dini ini
bagaikan mood booster.
Beliau itu seperti dokter Tiwi-nya
wong Suroboyo. Dibawah akan aku ceritakan beberapa momen yang melekat diingatanku tentang Dokter Dini. Sekaligus alasan mengapa aku jatuh hati pada dokternya para cinta mungil ini.
Yah bisa dibilang ini pengalaman pribadiku dan sekarang aku tuangkan dalam sebuah review tentang Dokter Dini, dokter anak terbaik di Surabaya versi endepe :))
Yah bisa dibilang ini pengalaman pribadiku dan sekarang aku tuangkan dalam sebuah review tentang Dokter Dini, dokter anak terbaik di Surabaya versi endepe :))
Dokter Dini, foto diambil dari akun instagram beliau |
---
Ramah, sangat ramah.
Dokter Dini selalu menyambut si cinta
mungil, sebutan beliau untuk anak-anak yang dirawatnya, dengan penuh senyum dan
kehangatan setiap mereka memasuki ruangan. Kehangatan itu tercermin dari
kalimat beliau selanjutnya,
“gimana kabarnya sayang? Sehat sehat
ya..” sorot matanya yang hangat menatap lekat anakku, kemudian sesekali
berpindah ke mataku.
Soal waktu periksa dan konsultasi,
beliau kayak dokter Enny yang aku ceritakan disini. Pasiennya
bebas berkonsultasi lama ataupun sebentar, yah sesuai kebutuhan lah. Beliau
juga nggak pernah terkesan memburu-buru pasien, nyuekin, bahkan nggak jarang
beliau memberikan pengetahuan baru. Seneng? Seneng banget lah. Efeknya apa? Ada
pasien yang ngeluh karena dokter Dini antreannya jadi panjang dan lama. Yasudah
berarti njenengan-njenengan yang ngeluh itu bukan jodohnya dokter Dini 😜 aku pribadi mesti ngakalin antrean dengan ambil nomor di pagi
hari kemudian datang sesuai perkiraan jam masuk ruangan. Jadi nggak terlalu
lama menunggu.
Wanita berkacamata ini benar benar
wujud dari kriteria dokter anak yang aku cari selama ini: pro ASI (pro banget
notok jedok), ramah sama anak, komunikatif (bisa konsultasi via WA), RUM (rational
use of medicine), peduli dengan tumbuh kembang anak, supportif, dan beraura
positif.
Saking kuatnya pancaran energi positif
beliau, aku selalu bahagia kalau waktunya genduk vaksin ataupun periksa lainnya
(meskipun genduk sakit, aku selalu happy kalau ke RSIA Kendangsari dan ketemu
dokter Dini!). Sebab aura dan energi positif beliau bisa jadi charger alami.
Apalagi kalau suasana rumah sangat tidak mendukung.
Pernah muka beliau terlihat tegang dan
serius saat tau BB gendhuk hanya naik 700 gram setelah 3 minggu. Beliau diam
sejenak lalu bersandar dikursinya sambil melipat kedua tangan. Sejurus kemudian
beliau bertanya:
“kamu setres ya mba? Banyak pikiran?”
Aku yang ditodong pertanyaan macam itu
jadi kaget. Dalam hati aku bertanya, apa iya aku stres? Lamunanku buyar saat
ibuku, yang pada saat itu nemenin aku konsultasi, buru-buru menjawab.
“ini lho dok, karena dia sambil
mengerjakan tesisnya juga,”
Dokter Dini hanya ber ooh ria. Aku
juga mantuk-mantuk aja. Sejurus kemudian beliau saranin agar aku lebih rileks.
Beliau juga dengan sigap segera memperbaiki posisi menyusuiku yang kurang tepat
. Rupanya selain stres, posisi menyusuiku kurang pas sehingga ASI nggak masuk
optimal. (dahlah cuman makmak yang tau gimana perjuangan awal nenenin).
Setelah pulang periksa, aku jadi
bertanya-tanya sama diriku sendiri. Apakah aku stres?
Perlu waktu beberapa bulan buatku
untuk nyadar bener bahwa gejolak dan emosi sseorang ibu itu berpengaruh buanget
nget nget ke perkembangan bayi. Setelah ditanyain gitu ama dokter Dini , aku
jadi sadar sebelumnya aku sempat nenenin gendhuk sambil nangis miris gegara ada
persoalan di keluarga yang bikin makan ati. Nah bisa jadi itu salah satu
penyebabnya. Belum lagi lingkungan yang tidak sepenuhnya mendukung. Aku jadi
bisa memahami kenapa ada ibu-ibu yang kurang berhasil dalam menyusui. Yakin
deh, itu bukan semata karena faktor ASI
yang sedikit. Allah udah sedemikian rupa memberi ASI yang cukup, yang dapat
dioptimalkan dengan rangsangan mulut, air liur bayi, aneka temuan ASI booster
oleh manusia, dan yang paling penting adalah kebahagiaan si ibu.
Akhirnya aku berjuang keras untuk
mencoba berbagai posisi menyusui agar gendhuk bisa dapet ASI banyak. Aku juga
mulai menghibur diri dengan nonton film, soalnya pas itu aku masih dikurung aja
gitu di rumah. Dilarang keluar-keluar. Pamali, jare wong biyen.
Jerih payahku membuahkan hasil. BB
gendhuk naik drastis dan dokter Dini memuji aku.
“wah, hebat sekali mom, bbnya naik
banyak," wajah dokter Dini penuh ketulusan dan matanya terlihat berbinar.
Denger kalimat itu aku sampai terharu,
hampir nangis. Soalnya aku jarang sekali mendapat apresiasi seperti itu. Suami
jauh, jadi komunikasi kami pun terbatas, suami hanya bisa mendukung dan
memantau perkembangan via WA dan telepon. Pun kondisi di rumah, dimana
tamu-tamu berdatangan dengan terus menjejalkan tokoh jare wong biyen ke dalam
pola pengasuhan dan pemberian ASI ku ke gendhuk.
Sepulang dari periksa, aku nyetok ASIP.
Hasilnya? Aku dapat 2 botol penuh dengan waktu yang lebih singkat dari
biasanya.
------
Konsisten,
Pro ASI, dan RUM
dat words! |
Kira-kira saat gendhuk masuk usia 7
bulan, gendhuk mulai mengalami konstipasi. Semua dokter yang aku temui sepakat
bahwa kemungkinan gendhuk tidak tawar dengan bubur instan yang dengan
paksaan sana-sini aku berikan kepada dia. Waktu itu memang serba salah, aku
sudah menolak pemberian burstan. Tapi aku sendiri sibuk dengan revisi tesis dan
tidak sempat browsing optimal gimana caranya menyiapkan mpasi homemade saat
traveling. Tibakne, di Jogja itu ada catering bayi. Nyesel beribu nyesel aku
baru tau info ini di bulan April.
Konstipasi gendhuk terbilang parah.
Sejak awal mpasi, pernah gendhuk BAB agak ngeden, terlihat bahwa dia berupaya
lebih. Tapi dia tidak pernah nangis. Warna serta tekstur tinjanya pun tidak
berubah.
Sementara pasca makan burstan, genduk
gak BAB sekitar 10 hari, hampir 2 minggu. Begitu BAB, kaget banget aku lihat
warnanya yang hijau kehitaman, bulat, dan keras. Genduk meraung-raung
kesakitan. Gitu terus selama berbulan-bulan, bab 5-7 hari sekali dengan tekstur
yang sangat padat bahkan cenderung keras, dan warna yang gelap.
Aku baca dan konsul, warna gelap itu
pertanda kebanyakan zat besi. Dokter Bagas yang juga praktik di RSIA
Kendangsari mengatakan kepadaku, mungkin saja burstan nya mengandung susu
formula dan produk tersebut nggak cocok di perut si gendhuk. Nyesel beribu
nyesel. Langsung aku buang semua stok bubur instan di rumah.
Baca juga: Pengalaman Mengatasi Sembelit Pada Bayi
Baca juga: Pengalaman Mengatasi Sembelit Pada Bayi
Pola itu berlangsung sebulan, hingga
puncaknya pada bulan Februari, muncul seperti bintil di bagian duburnya.
Akibatnya, si gendhuk jadi nggak berani BAB. Dia selalu memilih untuk menahan
BAB sebab kalau dia BAB, rasanya pasti sakit. Jadi dia takut. Tapi
bagaimanapun, pada suatu titik tubuh pasti memberikan dorongan alami. Dan pada
saat itulah, anakku si cerdas Mahira tidak lagi mampu menahan egonya. Ia pun merelakan
pup dengan penuh rasa sakit. Mahira selalu menangis, menjerit, dan.. tau
rasanya kayak gimana ngeliat anak kesakitan begitu? Seperti ada duri yang nusuk
nusuk ulu hati. Aku berasumi bahwa bintil itu adalah ambeien. Kasian sekali
Mahira. Dia jadi trauma BAB, dan ya Allah, masa iya sekecil ini sudah menderita
ambeien?
Dokter Dini yang aku kabari soal
kejadian ini, yang semula beliau superceria dan penuh senyum saat menyambut
kami masuk ruangan, perlahan raut mukanya jadi serius dan prihatin sama Mahira.
Beliau ngasih Mahira Lacto B dan salep untuk meredakan nyeri di bagian
bintilnya itu.
“Kita nggak ada opsi lain mbak, ya
harus sabar dengan proses ini yang mungkin akan berlangsung lama. Nggak mungkin
juga to mau kita operasi?” ujar dokter Dini.
Aku sepakat banget. Tapi setelah
diskusi sama suami dan ortu , kami sepakat untuk mencari dokter alternatif.
Akupun mulai searching dokter anak spesialis pencernaan di Surabaya. Nemu lah salah
seorang dokter ahli pencernaan anak di Surabaya. Saking selektifnya, aku sampai
cari background pendidikan dan penelitian-penelitiannya. Rupanya beliau satu
almamater dengan dokter Dini dan salah satu dokter anak senior di Surabaya.
Walaupun praktiknya jauh dari rumah, tetep aku datengin. Dalam tulisan ini,
saya sebut beliau Pak Dokter.
Ketemu Pak Dokter, aku lega sekaligus
kecewa. Lega karena Pak Dokter bilang bahwa ini bukan ambeien, melainkan skin
tag akibat konstipasi/sembelit dan banyak bayi yang ngalamin. Kata beliau,
nanti benjolan itu akan kempes sendiri. Beliau juga memberi salep yang sama
persis kayak yang diresepin sama dokter Dini. Plus, beliau ngasih probiotik (namanya Interlac) dengan size 5 ml seharga 200ribuan. Gilak
to? Betapa uruaan konstipasi ini nguras kantong banget. Pak Dokter juga memberi
gendhuk semacam obat puyer (dugaanku antibiotik) karena cukup ampuh di gendhuk.
Kecewanya adalah, pertama2 beliau
tanya, Mahira minum susu MERK apa?
Jujur aja aku kaget ditanya begini.
Sampai-sampai aku meresponnya dengan, “maaf dok, bagaimana?” pura-pura nggak
denger. Mustahil lah, ruangan beliau sangat tenang, nyaman, dan dingin. Di
dalam hanya ada aku, mbak Ifah, Mahira, dan Pak Dokter. Jarak kami pun kurang
dari 30 cm. Jika aku nggak mendengar pertanyaan beliau, jelas telingaku
bermasalah. Tapi tidak, telingaku sama sekali tidak bermasalah.
"Susunya merk apa?" Pak Dokter
mengulang pertanyaannya sambil menulis beberapa berkas pasien.
"Susunya ya hanya ASI dok,"
ku jawab dengan lugas sambil menerka-nerka kemana arah pembicaraan ini.
Pak Dokter berhenti menulis dan
menatapku sejenak. Beliau kemudian menggerakkan bolpennya lagi sambil berkata
sesuatu yang jleb markojleb.
“Anakmu nggak gendut2 kalau cuma minum
ASI. Harus di tambah sufor. Minum susu xxx (serius aku lupa nama merk yang
direkomendasikan beliau) ya,” beliau pun menulis resep obat plus resep susu
formula yang dimaksud.
Aku bingung sumpah. Bingung nanggepin.
Lalu pelan-pelan aku membuka mulut sambil memilih kata, biar nggak terkesan
menggurui. Emang sapa gue, cuma pasien.
“Dok maaf, bukannya kalau minum sufor
itu belum tentu cocok untuk pencernaannya bayi? Dan takutnya malah sembelit
dok?”
“Ini susunya nggak bikin sembelit,”
jawab beliau singkat.
------
Selang beberapa hari, aku konsutasi
lagi sama dokter Dini. Aku ceritakan pengalamanku berobat ke beliau. Dokter
Dini merespon tentang obat dan vitamin yang dikasih. Kata dokter Dini, memang
itu vitaminnya lebih ampuh, tetapi dokter Dini lebih memilih untuk memberi
vitamin pencernaan berupa Lacto B yang biasanya.
Saat aku ceritakan soal sufor yang
direkomendasikan sama Pak Dokter, dokter Dini cuma tersenyum, sambil ngguyu
singkat “hehe..” dan beliau kembali bersandar. Nggak lama aku didongenin sebuah
insight yang maha penting.
“Mungkin Pak Dokter tidak ada waktu
untuk mengedukasi pasiennya mbak, nggak papa memang tiap dokter beda-beda,”
beliau menghela nafas sebentar.
“Tapi gini lho, saya tu kapan hari
sempat ke Italia mengikuti konferensi tentang ASI disana. Bayangkan ya,
dokter-dokter disana itu sekarang ini sedang meneliti, mencari cara bagaimana
agar ASI ini bisa difermentasi, jangka waktunya bisa dipanjangin, tanpa
mengurangi kualitasnya,” sesekali matanya terbelalak, beliau juga
mengguncangkan kedua telapak tangannya tanda serius.
“Bayangkan coba mbak, karena mereka
itu tau bahwa ASI itu yang terbaik. Tidak ada yang bisa menggantikannya.
Meskipun sufor semahal apapun. Tidak ada. Tapi disini, ya Allah.. betapa
mudahnya ibu-ibu memberikan sufor dan yah, mungkin faktor lingkungan dan
kurangnya edukasi ya mbak...,” ujar beliau.
Detik itu, aku yakin. Yaqin.
Bahwa beliau adalah salah satu dari
sebagian kecil dokter di Indonesia yang berkomitmen tinggi agar cinta mungil di
Indonesia bisa mendapatkan ASI.
Ya, sebagian kecil. Sebab, bukan
rahasia lagi, banyak dokter diluar sana yang sangat permisif terhadap sufor
(kadang tanpa dilihat dulu akar permasalahannya) dan bahkan ada juga yang jadi
“tim marketing”nya perusahaan sufor.
Baca juga: Mewujudkan Bank ASI di Indonesia
Baca juga: Mewujudkan Bank ASI di Indonesia
Sekali lagi, memberikan ASI atau sufor
untuk si cinta itu memang pilihan. Aku pun tidak dalam posisi menghakimi
seorang ibu yang memilih memberikan susu formula untuk anaknya. Sama sekali
tidak, sebab aku paham betul bagaimana dinamika yang berbeda pasti dialami oleh
semua ibu diluar sana. Aku pun sesekali memberikan anakku susu sapi segar dan susu UHT setelah ia berusia 15 bulan.
Tapi aku yakin, ada satu hal yang
pasti kita sepakati, mungkin ia bersembunyi di sudut hati nurani yang tedalam.
Bahwasanya ASI adalah yang terbaik. ASI adalah anugerah, makanan dan minuman
pertama pemberian Allah yang terbaik untuk si cinta.
Dari dongeng Dokter Dini diatas, aku juga
makin yakin bahwa sebuah pilihan bisa menjadi sesuatu yang beresiko besar saat
si pengambil keputusan juga mengemban amanah yang besar.
Baca juga: Review Dokter Anak di Surabaya dan Sidoarjo
Baca juga: Review Dokter Anak di Surabaya dan Sidoarjo
______
Terjangkau
Setauku Dokter Dini praktik di RSIA Kendangsari
dan RSIA Kendangsari Merr. Kedua RSIA itu menurutku sangat baik untuk ibu hamil
dan menyusui. Mereka sangat berkomitmen bagi bunda dan buah hati. Jadwal Dokter
Dini bisa ditanya langsung aja ke RSIA. Kalau aku biasa datang di RSIA
Kendangsari karena dekat rumah, terjangkau dari segi jarak.
Dan yang kedua, terjangkau juga dari segi biaya.
Biaya periksa dan konsultasi di RSIA Kendangsari dengan Dokter Dini (2018) sekitar 150 ribu ditambah biaya rawat jalan sekitar 15 ribu, jadi total 165 ribu. Itu diluar vaksin dan obat. Kalau vaksin, biasanya Dokter Dini nawarin mau yang panas atau yang dingin. Kalau yang dingin, biasanya harganya lebih mihil. Soal vaksin, aku juga lebih percaya ke Dokter Dini sebab pas bulan September lalu aku ikut vaksin gratis dari pemerintah nah yang nyuntik petugas dari Puskesmas setempat. Menurutku, nyuntiknya kurang hati-hati dan setelah vaksin anakku dikasih paracetamol dosis dewasa. Kata beliau, nanti dipotong jadi seperempat gitu. Waduh, aku ya nggak berani ngasih lah ya.
Menurutku, tarif tersebut terjangkau jika aku
bandingkan dengan dua dokter di RS Lavalette, RSIA Mutiara Bunda dan RS Hermina
Malang. Dengan tarif yang sama, pelayanan yang diberikan jauh lebih baik di
RSIA Kendangsari. Juga dokternya, belum ada yang menggantikan Dokter Dini.
Hm.. kayaknya udah panjang nulisnya. Well, itu
sedikit cerita dari aku tentang Dokter Dini dan sekelumit alasan mengapa aku
jatuh hati dengan passion beliau.
Aku jadi teringat satu kalimat: apa yang berasal dari hati, pasti dapat menyentuh
dihati.
Halo mbak Nabila, gara2 dateng ke seminar Stunting dan yang ngisi dr Dini, aku jadi buka teka teki tumbang anakku. Kata dr dini BB anakku underweight berdasarkan grow chart WHO. Kemungkinan ada silent infeksi atau anemia kata beliau. Langsung aku ikhtiar cari sebab utama masalah anakku. Dan ternyata anakku oral motor disorder dan beneran ADB. Meski akhirnya tak ditangani dr Dini, tapi beliau yang menyadarkanku bahwa ada sesuatu dengan anakku. Meski hanya dari kedatangan materi kedatangan dan pertanyaan yg kuajukan pada beliau. Akhirnya kutulis di blog juga haha. Buat kenangan. Sehat2 ya adek Mahira :)
BalasHapusHalo mbak Nabila, gara2 dateng ke seminar Stunting dan yang ngisi dr Dini, aku jadi buka teka teki tumbang anakku. Kata dr dini BB anakku underweight berdasarkan grow chart WHO. Kemungkinan ada silent infeksi atau anemia kata beliau. Langsung aku ikhtiar cari sebab utama masalah anakku. Dan ternyata anakku oral motor disorder dan beneran ADB. Meski akhirnya tak ditangani dr Dini, tapi beliau yang menyadarkanku bahwa ada sesuatu dengan anakku. Meski hanya dari kedatangan materi seminar dan pertanyaan yg kuajukan pada beliau. Akhirnya kutulis di blog juga haha. Buat kenangan. Dr Dini super supel. Aku minta poto berdua juga boleh :) Sehat2 ya adek Mahira :)
BalasHapusaamiin makasi mba Septi, sehat2 juga buat anaknya yaa.. btw anakku pun pernah ku curigai ADB gegara bb nya naik dikit2. Dokter Dini hati2 bgt, setelah diminta tes darah ternyata gizinya masih baik alhamdulillah. Ngasih apa2 bener2 atas dasar yg jelas , emak2 macam aku gini kan jadi ikut tenang juga :D
HapusMbak, apakah Mahira sembuh hanya dengan lacto b atau ada obat lain? anak saya konstipasi sejak mulai mpasi sd sekarang sdh 10,5 bulan. diberi lacto b dan obat golongan lactulose, tetap konstipasi
BalasHapusthanks mbak
enggak mba, itu disana saya bahas, saya memberi Mahira beragam cara. mulai dari buah-buahan sampai vitamin. Obat cuman diresepin ama dokter dan sepertinya antibiotik, selain itu gak pake obat lain. nah kalo lacto B itu vitamin mba. selain lacto B aku sempat pakai interlac yang memang lebih bagus dan memberi progress yang baik. bisa dicoba interlac aja mba, agak mahal tapi secara kualitas menurut saya di atas lacto B.
Hapusanak saya tidak sembuh ditangani oleh dr dini..bahkan lendirnya tidak kluar sedikitpun..skrg anak saya akhirnya asma berat dan saya bawa ke dr gani di mulyosari..alhamdulilah langsung sembuh
BalasHapusHalo mbak nabila, salam kenal ya mbak :)
BalasHapusdokter anak saya juga dr dini mbak. dokter yang sangat aware sekali dengan cinta mungil. bahkan untuk pro ASI.
maaf mbak mau tanya. Apa dokter sby yang mbak maksud itu dr bambang ?
karena cerita nya hampir sama dengan yang dialami anak saya.
terima kasih