Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku
Berdua kita hadapi dunia
Kau milikku ku milik mu
Kita satukan tuju
Bersama arungi derasnya waktu
Ngaku deh, begitu denger kata “teman hidup” jadi inget lagunya
Tulus kaaaann? Hehehe. Emang Tulus cerdas banget ya memilih frasa, alih-alih
menggunakan kata pasangan, Tulus berusaha negur dan ngingetin bahwa seseorang
yang kita pilih untuk menjadi suami / istri adalah seseorang yang akan menemani
hidup kita. Kalau sebelumnya kita sendiri, bebas, dan gampang galau, begitu ada
si teman hidup tentu berubah 180 derajat : berdua, nggak lagi bebas, tapi bakal
lebih tenang.
Berbahagialah buat yang sudah punya teman hidup, buat yang belum,
nggak perlu sedih, lho. Anyway, jangan pernah mengira perempuan yang
belum menikah itu belum punya pilihan lelaki ya gais, atau parahnya sampe
menganggap dia gak laku. Duh tolong ya, yang pandangan yang begini kudu dibakar
habis. I’m pretty sure that biasanya perempuan itu sudah punya minimal
cemceman (ini perihal yang natural banget), tapi tentu ada yang membuat seorang
perempuan memilih untuk single dulu.
Hm.. berhubung beberapa waktu lalu aku dicurhatin sama temen-temen
yang umumnya sudah berusia seperempat abad terkait gimana sih cara ketemu
jodoh? Gimana sih biar survive nikah muda? Gimana sih ta’arufan? Gimana
sih agar pacarku ini mau ku ajak nikah sesegera mungkin?
Eits, aku nggak punya wewenang sama sekali buat menjawab itu
semua. That’s your life, gurl! Paling banter aku cuma bisa kasih saran
tentang beberapa hal. Jadi kepikiran untuk sekalian menuangkannya dalam
tulisan, tentu saja nggak cukup di satu postingan. Nah buat yang sekarang, aku
bisa memberi beberapa tips (menurut pengalaman dan pengamatan pribadi) tentang how
to memilih teman hidup.
Sini mendekat, aku bisikin caranya.
1. Tentukan tujuan hidupmu terlebih dahulu.
Jangan buru-buru kebelet nikah tapi sebetulnya diri sendiri belum
tau “mau kemana” dan belum tau punya impian serta rencana apapun untuk rumah
tangganya. Menentukan tujuan itu ibarat kita lagi jalan-jalan dan kita tau kita
mau ke suatu titik, selanjutnya tinggal mikirin dengan cara apa kita kesana?
sama siapa? bakal mengalami apa aja ya?
Kalau kita bergerak tanpa arah yang jelas, bisa ketebak kan
hasilnya: buang-buang waktu dan energi, bingung di tengah jalan, dan berpotensi
nyasar parah. Gambaran itu juga yang bisa terjadi di rumah tangga. Setelah tau
tujuan diri sendiri, biasanya bakal lebih mudah untuk memahami kriteria
pasangan hidup. Bakal lebih mudah juga memilihnya, bukan?
2. Pilih media mu.
Banyak banget media bertemu dan memilih pasangan hidup. Mau
pacaran? Buanyak banget. Mau ta’aruf selow (kayak aku dulu 😂) juga bisa. Mau ta’aruf notok, misalnya saling mengenal pasangan
via proposal, juga ada. Mau pakai aplikasi semacam tinder, banyak. Mau punya
anak duluan, baru resmi? Juga banyak. Mau memintanya lewat doa dan istikharah?
Bisa. Mau nargetin sahabat sendiri? Hm, ada. Mau nikah sama rekan kerja? Boleh
boleh aja. Maunya dijodohin ortu aja? Nggak masalah. Bebas banget to pilih media?
Apapun medianya, yang perlu dipahami adalah konsekuensinya. Jika
memilih untuk ta’aruf, tau ya konsekuensinya, bakal ada porsi dimana kita
mungkin kurang mengenal lebih dalam mengenai si calon pasangan. Hm, boleh lah
kapan-kapan aku bagi cerita soal ini ya, berhubung pernah jadi pelaku juga
hehehe. Jika memilih untuk pacaran, kemungkinan besar kita jadi tau seluk beluk
baik buruk pasangan karena memang aktivitas pacaran memungkinkan kita jadi
sangat dekat dengan seseorang (mantan pelaku juga 😛 makanya paham) bahkan kadang ada yang keintimannya udah kayak
suami istri, eh bahkan ada juga yang ngelebihin 😀. Tapi
yah, aku termasuk yang percaya kalau berkahnya pasti kurang.
Semua media punya plus minus, silahkan pilih sendiri mau pakai
media apa untuk bertemu si calon teman hidup. Yang perlu diperhatikan adalah
media tidak jadi penentu kelanggengan rumah tangga. Yang ta’arufan cuma
bertahan 3 bulan? Ada. Yang pacaran langgeng menahun dan bahkan memilih jalan
hijrah setelah berumahtangga? Banyak.
Kekalnya rumah tangga balik lagi tentang komitmen kedua pasangan.
3. Kenali karakternya, kuliti tujuan hidupnya.
Aku paham.. paham betul gimana manisnya bunga-bunga yang muncul,
merdunya burung berkicauan, dan renyahnya suara ombak ketika perempuan
mencintai seseorang. Tapi harus jujur ku katakan, itu semua justru sering
membuat pandangan kita jadi blur. Mata jernih kita jadi keruh, kaca mobil kita
penuh embun. Akibatnya, jadi nggak bisa melihat dengan jelas.
Maka dari itu, jauhi aktivitas perkenalan dengan bunga-bunga yang
berlebihan. Kode-kodean bolehlah, tapi masa iya tiap hari? Coba pakai waktu
yang kalian punya untuk diskusi hal-hal yang nantinya akan terjadi dalam rumah
tangga. Gali pendapatnya mengenai pola pengasuhan anak, pekerjaan, hubungan
dengan keluarga, dan lain-lain. Nanti kalian akan ketemu, bisa-bisa satu
karyawan di otak mu bakal bikin tabel mengenai karakter apa aja yang bikin
kalian “gathuk” dan sebaliknya.
Atau nih ya, coba bikin project bareng. Seru banget kan? Bisa juga
sesekali traveling bareng sama dia (tentu ada kaidah-kaidah yang harus
diperhatikan 😛), aku pribadi termasuk
yang percaya karena udah ngalamin sendiri sih, kalau perjalanan itu akan
mengungkap karakter seseorang yang sesungguhnya.
4. Kenali keluarganya
Sudah bukan rahasia lagi, menikah itu bukan cuma sama si lelaki
tapi sama seluruh keluarganya lelaki. Harus mau melalui masa orientasi yang tak
kunjung usai dengan kakaknya yang resek, adeknya yang manja, ortunya yang suka
ikut campur, dan lain-lain. Artinya, kita mau nerima enaknya, kudu mau juga
nerima asemnya.
Dari keluarganya pula, bakal ketahuan gimana watak serta kebiasaan
baik dan buruk pasangan. Inget, setiap anak itu lebih dulu meniru perilaku
orang tuanya. Pembentukan kebiasaan, yang nantinya bakal memengaruhi karakter
dan karakter bakal memengaruhi keputusan seseorang, itu juga terbentuk dari
rumah. Kalau masih pacaran atau proses pendekatan yang lain, mungkin bakal
terus menoleransi banyak kebiasaan buruk (soalnya ya itu tadi, kebanyakan flower).
Begitu sudah nikah, jangan kaget kalau kebiasaan buruk bisa jadi alasan ribut.
Kalau aku boleh bikin analisis ngawur dan asal-asalan, menurut
pengalaman pribadi plus beberapa teman, hanya 2 dari 10 orang yang merasa klop
dan bisa bersahabat dengan keluarga pasangan. Sisanya?? Pasti ada proses gegeran-nya.
Penyebabnya bisa karena karakter keluarga yang keras atau juga karena si
pasangan nggak mau beradaptasi. Jadi tetap saja harus ada proses adaptasi dari
dua sisi.
Beberapa hari lalu, aku habis ngobrol asik sama salah seorang
psikolog keluarga di Malang. Dia bercerita sekaligus berpesan sama aku, sambil ngoret-oret
kertasnya, kalau bisa digambarkan, berumah tangga itu kayak gini:
Ada 2 keluarga besar yang punya karakter, watak, serta nilai-nilai
yang dipegang. Trus anak-anak mereka memilih untuk keluar dan membuat lingkaran
kecil. Sudah pasti keluarga kecil ini bakal penuh gejolak tersebab adanya
perbedaan dari dua lingkaran. Orang-orang di lingkaran kecil harus mau jatuh
bangun melalui proses dan mencari formula sendiri untuk rumah tangganya. Peran
keluarga besar itu, seharusnya dan sebaiknya, nanti hanya sebagai supporting
system.
Anyway, sempat aku baca analisis
dari beberapa netijen atas kasus yang baru-baru ini mekar, bikin heboh, karena
yang satu hafidz dan yang satu mantan anak clubbing. Dah ya, nggak perlu
diperjelas lagi, tapi dari kisah mereka jadi banyak yang berpendapat tentang
pentingnya nikah sekufu. Se-agama, se-aliran, se-kampung, dan se se se
yang lain. Mungkin memang akan mempermudah proses adaptasi karena terlihat
memiliki latar belakang yang similiar. Tapi sesungguhnya itu bukan
jaminan. Ada to yang nikah se-aliran tapi gagal, ada juga yang nikah beda agama
dan budaya tapi langgeng.
5. Dengarkan kata hatimu, kata orang tua cukup jadi pendukung
Kecuali kalau kamu ingin dijodohin sama ayah ibumu, silahkan
menyerahkan semua agenda ke beliau. Aku pribadi lebih memilih untuk memutuskan
sendiri, sempat ada waktu dimana ortuku (dulu) memilih si A sedangkan aku ogah.
Sebagai gantinya aku “mengenalkan” si B. Alasannya simpel, balik lagi ke poin 1
diatas. Cuma kita yang tau persis apa tujuan hidup dan rencana hidup, kita juga
yang mendesign rumah tangga nanti. Meski demikian, pendapat dan restu ortu
tetap harus dihargai. Kadang advice dari mereka itu bisa menyingkirkan flowery-thing
juga, karena mereka melihat dari sudut pandang sebagai orang yang sudah melalui
puluhan musim menjalani rumah tangga.
6. Komitmen
Nah, ini dia gong-nya. Poin 1 sampai 5 itu harus dibungkus
rapat dengan yang namanya komitmen. Komitmen itu sangat luas, tidak melulu
mengenai kesetiaan. Tapi juga komitmen untuk menjadi seseorang yang lebih baik,
komitmen itu mau memperbaiki diri, komitmen untuk jujur dan terbuka sama
pasangan, komitmen untuk terus istiqomah menjalankan ibadah sama pasangan, dan
lain-lain.
The last point.
7. Pastikan calonmu (dan kamu tentunya) adalah orang yang bersedia
beradaptasi dan saling menyesuaikan sepanjang hayat.
Eum, ini sekedar tips, buat para muslimah pilihlah lelaki yang
baik agamanya, yang sabar, dan yang mau belajar. Lelaki dengan karakter seperti
ini layak dipertahankan. Jika si lelaki itu direstui keluargamu, menikahlah.
Sebab sudah ada hadist nya soal ini:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau
ridho agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak
menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.” (HR.
Tirmidzi, hasan)
Artinya tentu itu perihal yang amat sangat dianjurkan, dengan
syarat kita sebagai orang yang menjalani rumah tangga nantinya plus ayah kita
(atau wali) ridho (keywordnya ini lho!) dengan si lelaki,
alangkah baiknya segala ragu kudu dipukul mundur. Aku jadi teringat teguran
salah seorang senior saat aku maju mundur mau nikah (muda).
Dia bilang, cenderung mengancam soalnya sambil
mengacung-acungkan jari telunjuknya, kalau aku sudah memiliki segala
kemampuan untuk menikah (sudah sreg dengan calon dan dukungan penuh dari
keluarga) maka perihal itu jangan ditunda. Jangan pernah terpikir untuk
menundanya, sebab dosanya besar, begitu kira-kira ia berucap. Awalnya aku nggak
paham, seiring waktu berjalan aku jadi sadar kalau begitulah cara kita beribadah.
Kayak lagi sholat, kalau mampu untuk sholat tepat waktu, kenapa harus menunda
melaksanakan hak Allah?
Well, selamat memilih calon
pendamping hidup! Ku doakan kamu bisa mendapat yang terbaik dan bisa menjalani
proses berumah tangga dengan cara yang baik juga :)
Kalau mau ngobrol, boleh ngomen-ngomen disini lho 😋
Izin share ke wanita-wanita seperempat abad lain ya bil . Insya allah bermanfaat ��
BalasHapusmonggo prisss :)
HapusIya mbk, semua medianya ada plus minusnya. Klo aku pengen media taaruf aja deh hehe In syaa Allah. Btw salam kenal mbk, muthihauradotcom
BalasHapussalam kenal juga mba muthi :)
HapusSaya angguk2 aja deh hihi
BalasHapushihi senam ya mbak :D btw aku sampe siwer, samaan DP nyaa :D
HapusMbak untuk poin nomor 4 aku sudah sering baca dan kalau kajian ustadnya juga sering bilang gitu mbak. Anyway terimaksih mbak tulisannya . Aku pribadi bahkan mencari suami yang rasanya untuk aqidah harus sama seperti bacaan sholat sesuai sunnah. Doakan aku segera ketemu jodohku mbak ehehehe
BalasHapusHai mbak Rahma, salam kenal yaa. Iya mba memang soal keluarga pwenting banget,harus tau dan sreg di awal. Aamiin mbak, aku doakan semoga segera dikabulkan sama Allah ya doanya. Dipersiapkan dulu aja mba sambil menanti si teman hidup :)
Hapus