Add caption |
“Zaman Ibu dulu, ya aqiqah kudu selapan, nduk.”
“Jangan makan ikan asin, Bil, kasian Mahira entar ASI nya jadi asin.”
“Gapapa lah kasih anak nonton YouTube, kan banyak manfaatnya.”
“Duh, ini makannya kok hambar banget, ya kurang asin lah mana ada rasanya”
(Nenek merespon MPASI perdana si kecil)
“Kasih S*N atau Miln* aja buat makannya, nggak ribet.”
“Aduh, Mahira jangan main bubble-bubble gitu, entar ditelen, lho!”
“Belum bisa baca dia masih bayi juga, ngapain diajarin baca buku, kasian.”
---
Bunda.. ada yang ngerasa familiar ama kondisi di atas?
Selamat datang di topik yang lumayan sensitip yang sekaligus kerap di-request ama
beberapa temen untuk segera ditulis. Wehehe. Aku bilang sensitip karena tulisan
ini nantinya bisa disalahartikan jadi “ah, nggak manut ama orang tua,
durhaka, lho…” atau “yah, orang tua kan pasti pengen yang terbaik buat anaknya,
jadi turutin aja, pasti yang terbaik!”
Saat beberapa kali cerita ke teman atau sambat di sosmet (pembaca budiman, maafkan aku yang suka sambat colongan) nggak ku sangka aku dapet
beragam respon. Beberapa ibu muda, merespon dengan support atau kalimat bernada
“I feel you” beberapa lagi rupanya ada juga yang memberikan pandangan lain
bahwa orang tua itu begini dan begitu. Temen-temen yang memberikan pendapatnya
dengan kalimat seperti itu, aku lihat kebanyakan belum menikah, belum punya
anak, atau memang dia tipikal orang yang selalu positip. Aku anggap itu semua
sebagai kekayaan sudut pandang dan menetralisir kegalauanku lah ya..
Sebetulnya yang namanya pengasuhan tiga generasi itu banyaak manfaatnya. Mulai dari bonding yang erat antar anggota keluarga, menghemat tempat (terutama yang masih nunut tinggal sama ortu / mertua), ada yang bantuin jaga si kecil kalau kita lagi sakit, serta bentuk dukungan baik secara moral maupun materi. Aku termasuk keluarga yang menjalankan pola pengasuhan tiga generasi ini, tentu dengan dinamika pula. Perbedaan pendapat juga pasti ada, tangis dan tawa juga nggak ketinggalan, yang penting adalah bagaimana antar satu anggota keluarga dengan yang lain tetap saling menghormati dan menghargai agar jika ada konflik pun tidak berakibat fatal.
Sebetulnya yang namanya pengasuhan tiga generasi itu banyaak manfaatnya. Mulai dari bonding yang erat antar anggota keluarga, menghemat tempat (terutama yang masih nunut tinggal sama ortu / mertua), ada yang bantuin jaga si kecil kalau kita lagi sakit, serta bentuk dukungan baik secara moral maupun materi. Aku termasuk keluarga yang menjalankan pola pengasuhan tiga generasi ini, tentu dengan dinamika pula. Perbedaan pendapat juga pasti ada, tangis dan tawa juga nggak ketinggalan, yang penting adalah bagaimana antar satu anggota keluarga dengan yang lain tetap saling menghormati dan menghargai agar jika ada konflik pun tidak berakibat fatal.
Karena menjalani sendiri, plus banyak sekali aku dengar cerita yang similiar bahkan ada juga kasus tertentu yang cukup parah kondisi komunikasi dengan ortu/mertua, aku mulai ngeh bahwa ada pola yang khusus dari pengasuhan
“bersama” ini. Terutama kalau kita tinggal serumah dengan orang tua atau
mertua. Karena kepo, akupun baca-baca beberapa referensi, diantaranya instagram
@tigagenerasi, artikel-artikel, bahkan curhat sama orang yang lebih tua. Salah
satu guruku yang tidak segan membagi pengalamannya yang serupa, bahkan sempat
meyakinkan aku untuk “sedikit berontak” sama orang tua dan mertua tentang
prinsip-prinsip dalam keluarga inti.
Beliau bilang, “Nabilla, bagaimanapun
juga, yang namanya keluarga inti itu ya suami, istri, dan anak. Orang tua boleh
berpendapat, kita pun bebas mau mengambil atau tidak.”
Indonesia Banget
Kondisi ini Indonesia banget ya, kondisi dimana orang tua yang bekerja
kerap menitipkan anak-anaknya kepada nenek karena tidak ada pilihan lain, daripada nge-gaji orang, daripada mbayar daycare atau tidak percaya
dengan PRT. Selain itu, banyaknya keluarga kecil yang mungkin dengan kemampuan
ekonomi yang pas-pasan, mau tidak mau tinggal sama orang tua dan mertua. Atau
ada juga yang memindahkan orang tua atau mertuanya ke rumah karena beliau sudah
sangat tua, sakit-sakitan, dan tidak ada yang mengurus. Tapi umumnya yang
terjadi sih ada di poin pertama ama kedua ya. Apalagi mamah muda yang masih
shock dan lelah dengan proses setelah lahiran, eh nggak banyak persiapan juga
menghadapi generation gap ini.
Meski perihal ini sangat Indonesia, bukan berarti di negara maju nggak ada
problem semacam ini. Bahkan, sampe ada penelitiannya, lho. Jelas perihal multigeneration
housing ini bukan hal yang sepele, ada banyak isu disana mulai dari ekonomi,
parenting, psikologi, kesehatan, dan lain-lain. Di Amerika misalnya, isu ini
dipandang sebagai isu yang “kuno”, which means, keluarga yang tinggal secara
terpisah dari orang tuanya adalah sebuah langkah modern. Tetapi, makin kesini,
rupanya ada riset pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Pew Research Center,
sebanyak 49 juta orang Amerika atau sekitar 16,1 % dari seluruh populasi hidup
bersama keluarga dalam satu rumah yang setidaknya di dalamnya ada dua generasi
dewasa, satu generasi sepuh (kakek-nenek), dan setidaknya satu generasi
yang lebih muda. Hal ini meskipun membawa manfaat, juga sekaligus
menggandeng sejumlah tantangan dan salah satunya adalah dalam hal parenting.
Kakek-nenek, seringkali memaksakan ilmu parenting yang mereka ketahui yang
mungkin saja (atau lebih seringnya hampir pasti) berbeda dengan ilmu parenting
yang diketahui orang tua si kecil. Selain itu, kadang memang kurang tepat
memosisikan beliau sebagai pengasuh. Kecil dah ngasuh kita, masa tuanya juga digunakan ngasuh
anak-anak kita. Ada lho kakek-nenek yang ngresulo kayak gini.
Kok bisa gitu, ya…?
Seperti biasa, mari kita kupas penyebabnya. Hehe.. aku emang tipikal yang begini dalam membahas isu. Seperti yang telah aku sampaikan di postingan
mengenai generasi sandwich disini, bahwa penting untuk mengetahui penyebab sebelum
mengobati sesuatu. Selain itu, biar gak lama-lama galaunya gitu looooww.
Sebagai anak dan juga sebagai orang tua, aku ngamatin ada beberapa sebab adanya generation gap dalam hal pengasuhan anak, pola pendidikannya, atau parenting.
Lagi-lagi, ini opini pribadi ya yang juga didukung oleh wawasan yang aku baca.
Kalau bunda punya pendapat lain, nanti sharing di komen boleh banget, lho.
Pertama: beda generasi, beda wawasan, beda karakter.
Mengenai perbedaan wawasan dan karakter
dari generasi ini pernah aku sampaikan juga di postingan ini. Generasi orang
tua kita adalah generasi X, kita generasi millennials, dan anak-anak kita
termasuk di Gen Z atau bahkan generasi Alpha ya (generasi yang lahir di atas tahun 2010). Lahir dengan latar belakang
sosial, ekonomi, dan politik berbeda, teknologi dan informasi yang juga beda
arusnya, sudah pasti menghasilkan generasi yang berbeda pula. Orang tua kita
yang tumbuh dan besar di eranya Pak Harto, belum kenal internet, akses
pendidikan masih terbatas, info yang paling bisa dipercaya dan dianggap akurat
adalah info yang beredar dari mulut ke mulut, kebanyakan akan menggunakan
tradisi nenek moyang dalam parenting ketimbang menyerap info atau wawasan
parenting terbaru.
Emak-emak millennials kayak sayah, yang lahir dan besar saat Pak Harto udah
di ujung tanduk, Bill Gates lagi getol-getolnya ngenalin Windows dan Ms.
Office, kenalan ama disket (kangen gak sih wkwk), MiRC, Friendster, My Space, Blogspot, dan lain-lain. Menurutku generasi ini terbilang beruntung, sebab masih bisa
merasakan nikmatnya mainan tradisional, tapi juga ngerasain kerennya sentuhan
teknologi yang baru aja datang.
Ibaratnya, kita lahir dan besar di akhir musim gugur,
musim yang menawarkan keindahan dedaunan yang menua. Nggak lama kemudian, kita
dikasih kejutan berupa romantisme salju pertama yang turun ke bumi. Gimana rasanya?
Excited, bukan?
Makanya orang tua yang lahir di generasi ini umumnya punya wawasan yang
seimbang antara “warisan” parenting dari nenek moyang dengan kemajuan informasi
dan teknologi. Ada orang tua millennials yang memilih untuk ngikutin “warisan” itu sepenuhnya,
ada yang pro notok ke ilmu parenting ter-mutakhir, ada juga yang memilih untuk
mengombinasikan keduanya.
Sementara anak-anak kita, yang lahir di atas tahun 2010, termasuk Generasi
Alfa. Ibarat generasi yang lahir dan besar di tengah musim dingin, perkembangan
ilmu dan teknologi di generasi ini luar biasa banter. Kadang kita aja susah
ngikutin tren, aku pribadi malah cenderung bodo amat ama tren terbaru yang
nggak aku banget. Generasi yang lahir dengan paparan internet yang cukup besar,
nggak heran kalau belum ada 2 tahun udah pada jago nge-swipe dan hapal letak
aplikasi tertentu di smartphone. Mereka cepet banget diajarin beginian.
Juga, generasi ini lahir setelah orang tua kita (Gen X) sudah paham dan mulai
terbiasa menggunakan gadget, mainan fesbuk dan youtube, bahkan bisa jadi
mulai ketagihan, karena ngerasa keasyikan. Zamanku ra ono sing koyok ngene, gitu mungkin batin beliau.
Nah, gimana, sudah bisa mulai mahamin ya perbedaan tiga generasi ini?
Kedua: tinggal se-rumah
Kalau kita ama anak-anak tinggal se-rumah sama orang tua ataupun mertua
hampir pasti berkonflik. Memang nggak semua, tapi yes, I could say ”almost”.
Biasanya yang sering berkonflik itu antara mantu wedhok atau anak wedhok dan
mertua atau orang tua. Kalau lakik biasanya woles ya, jarang baper kalau ada
beda pendapat. Sementara istri, terutama yang nggak bekerja atau bekerja di
rumah, akan lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan bertemu dengan orang
tua atau mertua. Kritik-kritik kecil mungkin terjadi, jangankan persoalan
ngasuh anak, salah naruh barang aja bisa jadi persoalan.
Apalagi kalau kita tinggal di rumahnya orang tua atau mertua dan
menggunakan sebagian sumber daya (ehem, dana) dari beliau untuk hidup,
superiroritas itu hampir selalu ada.
Ketiga: posisi kejepit.
Dua status dipundak yakni sebagai orang tua untuk anak-anak kita yang kita kudu
menguasai ilmu parenting yang kita yakini paling tepat untuk mendidik
anak-anak. Tapi disisi lain, kita juga sebagai anak dari orang tua kita yang sepintar apapun, nggak
pantas rasanya menggurui orang tua. Mau ngasih tau ke ortu, sungkan. Nggak
dikasih tau, kok jadi masalah dan makin parah. Udah dikasih ilmu, eh nggak mau
menerima. Akhirnya never ending eyel-eyelan deh..
Keempat: suami nggak kooperatif.
Ini nih yang repot. Udah nggak seirama ama orang tua dalam hal mendidik
anak, eh, suami ikut-ikutan beda jalur. Padahal, yang namanya mendidik anak,
suami istri WAJIB hukumnya untuk kompak. Bicarakan dulu, pillow talk
gitu kek, apa aja prinsip utama yang dipegang dalam mendidik si kecil, perihal
apa saja yang bisa ditoleransikan, dan lain sebagainya. Kalau suami istri udah
beda pendapat, apalagi di depan anak dan orang tua, konflik tentu berpotensi
membesar.
Terus, kudu gimance?
Ada perihal yang aku pegang, bahkan menjadi salah satu prinsip utama. Anak
kita, lahir dari rahim kita, adalah amanah kita. Kita yang utama, si ibu dan
ayah, dua pihak yang urun kromosom. Bukan nenek, kakek, PRT, mbak-mbak daycare.
Jika kita menitipkan sama mereka maka pastikan sudah ada transfer knowledge atas
prinsip-prinsip kita dalam membesarkan si kecil. Ada ibu yang memilih untuk full
mengurus dan mendidik anak-anaknya sendiri, memilih untuk nggak kerja, dan
bener-bener total deh, seminimal mungkin anak tidak diserahkan ke orang lain.
Ada juga yang macam aku gini, ada bantuan PRT, ada bantuan ibu. Ada juga yang
menyerahkan ke PRT, orang tua, atau ke daycare tanpa rambu-rambu itu
tadi. Ya ini yang ayahab (boso walikan Malang: bahaya). Pernah aku dengar percakapan nyata yang kurang lebih isinya seperti ini, sebuah contoh dimana ketika orang tua kurang memberi rambu-rambu dan prinsip yang tegas, jelas, kepada pengasuh anak (baik rewang maupun orang tua):
Pagi hari dimana banyak anak dan rewang pada nongkrong, ada salah satu anak (si A) yang minta makanan temannya (kebetulan makannya ayam KFC).
Kemudian ia meminta mbak rewangnya untuk makan.
"Mbak, aku mau nasi..." begitu pintanya.
"Nasinya habis!" mbak rewangnya jawab sekenanya.
Karena heran, si mbak lainnya nyeletuk,
"Pagi-pagi nasinya udah habis, mbak?"
"Engga sih, cuman kalo diambilkan pasti entar gak dihabisin," timpal mbak rewang nya A.
Akhirnya, si A nggak sarapan. Agar kenyang, dia diberi susu saja. Hanya makan jika minta, beberapa sendok saja.
Padahal, mau habis atau enggak, penting banget untuk terus membiasakan anak untuk sarapan dan makan makanan yang bergizi. Sayangnya orang tuanya, tidak tahu menahu tentang hal ini...
Perlu kita ketahui bahwa kebanyakan performa kakek-nenek di hari tua itu
menurun, dari sisi kesehatan maupun psikologis. Coba deh pikirkan dulu dan
pertimbangkan baik-baik sebelum nitipin anak ke beliau, mampukah mereka mengatasi anak-anak kita yang cranky
abis? Bisa-bisa kalau anak cranky malah dimanja maksimal atau dimarahin, sementara kedua hal tersebut adalah hal yang sebisa mungkin kita hindari sebagai orang tua. Kalau memang menitipkan full anak-anak ke orang tua, sebisa
mungkin sediakan sumber daya yang memadai, baik dari segi materi, ilmu, ucapan
terima kasih, dan lain sebagainya.
Nah, karena itu perihal yang pualing penting, solusi utama dan yang pertama
adalah komunikasi. Tinggal serumah dengan tiga generasi yang berbeda, tentu
bukan hal yang mudah. Memang, ada sejumlah manfaat misalnya bonding yang makin
erat antar keluarga besar, pengeluaran hemat, ada bala bantuan pengasuhan
terutama kalau lagi sakit, dan lain sebagainya. Tapi tetap saja, penting bagi setiap
anggota keluarga baik kakek-nenek, suami-istri, dan anak kita untuk mampu dan
berkenan mengomunikasikan tentang apa yang mereka inginkan dan apa yang tidak
mereka inginkan.
Rambu-rambu ini (kalau tidak salah Bu Elly Risman sampai bikin istilah Garis Besar Pengasuhan
Anak/GBPA) amat sangat penting untuk kita komunikasikan ke orang tua. Sederhana
aja, mulai dari keinginan kita untuk ASI dan MPASI alami kita sampaikan juga
mengenai tantangan dan resiko. Kalau perlu meminta kepada beliau untuk memahami
prosesnya yang mungkin tidak mudah. Atau mencoba mengomunikasikan ke ortu untuk
tidak menyalahkan si anak. Familiar gak ama yang kayak gini:
Anak: *terjatuh, nangis buanter* huaa...waa...waa..waaaa
Nenek: Lho, jatuh ya, uhhh (mukul lantai) wes kodok-nya lari!
Bunda: (bingung, nggumun, mana kodoknyaa…)
Kodok: gue lagi yang disalahin...
Para bunda yang nggak paham betapa fatalnya kalimat di atas, bakal terus
niruin apa yang orang tua kita “ajarkan” sama kita dulu, soalnya udah terpatri
di kepala. Tanpa sadar, kalimat semacam itu bakal mengantarkan kita atau anak
kita untuk menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Bunda yang mau mikir,
pasti merespon anak yang terjatuh dengan kalimat berbeda. Nah, sampaikan juga
ke orang tua, dengan bahasa yang baik tentunya, bahwa kalimat seperti itu
kurang baik nanti dia suka menyalahkan orang lain dan bahkan suka memukul.
Atau masih inget nggak sama kejadian ini:
Source: brilio.net |
Kalau emak-emak zaman old tuh, pasti udah dikomentarin, dikasiani, dan nge-judge
si bapak adalah raja tega. Tapi apa jawaban bapake? Ada di halaman Brilio disini.
Solusi kedua, sebisa mungkin rangkul orang tua dan edukasi mereka tentang update
terbaru mengenai ilmu parenting. Aku pernah mengikuti seminar MPASI di RSIA Kendangsari sama Mahira yang
masih berusia 4 bulan dan ditemani sama sepupuku. Kebetulan saat itu RSIA
Kendangsari sambil ngumumin pemenang dari sebuah kontes kisah tentang keterlibatan
kakek-nenek dan suami dalam pemberian ASI. Pemenang utamanya ternyata cerita
dari ibu-nenek-dan anak yang sangat kompak dalam memegang prinsip ASIP tanpa
dot. Si ibu ini adalah working mom dan termasuk yang menganut prinsip anak-bayi-nggak-baik-kalau-minum-ASIP-dari-botol-dot.
Dia pun mengusahakan agar anaknya diberi ASIP
dengan media lain seperti cupfeeder, softcupfeeder, atau
disendokin dari gelas. Uniknya, orang yang ngebantuin adalah si nenek yang you
know lah umumnya beliau-beliau ini pengennya praktis aja dan ngikutin kayak
zamannya dulu yaitu pake dot. Tapi si nenek ini justru antusias dan telaten
banget memberi ASIP ke dedek bayi dengan media yang sangat baru bagi beliau.
Memang tidak mudah, aku ulangi, sangat tidak mudah mengedukasi orang tua.
Ada kecenderungan dimana kita, anak-anaknya, dianggap lebih muda, minim
pengalaman, belum lagi gengsi ortu yang sangat besar. Mengedukasi orang tua
bisa macam-macam kok. Mulai dari cara yang halus, dengan senyuman atau cuman
mengiyakan padahal kita tidak melaksanakan yang diinginkan. Misalnya,
Nenek: “itu anakmu nangis aja, mungkin ASI nya nggak cukup ya, kasih sufor
aja!” (padahal dedeknya masih newborn)
Bunda: *senyum lebar* inggih, maturnuwun.
Atau dengan memberitahu mengenai baiknya begini dan menghindari beberapa
hal. Cara ini aku terapkan terutama mengenai screen time. Ibuku termasuk
orang yang amat sangat permisif dan bahkan menggunakan gadget sebagai
alat andalan kalau anakku lagi cranky. Padahal, aku sangat melarang, lho! Pernah sampai aku jengkel banget, karena ayahku pun juga melakukan hal yang sama. Marah rupanya nggak
membawa solusi dan buntutnya jadi nggak baik macam ini:
Ibuku: “Nak, sudahan ya nonton YouTubenya, entar Bunda marah, lho.
Bunda: (kok jadi nyalahin gueeee, padahal anak ngga akan nonton kalau nggak
dikasih akses. Selain itu, aku juga enggak sampe marah ama anak perkara ginian)
Diplomasi nggak mempan, ngamuk juga apalagi, akhirnya aku coba negosiasi.
Mulai dari memberitahu bahwa aku melarang Mahira terlalu terpapar gadget apalagi
nonton YouTube di smartphone dan dia pegang sendiri hapenya. Tapi ibuku
masih kekeuh suka ngasih lihat gitu. Akhirnya aku ambil jalan tengah: nonton
YouTube di TV. Boleh lihat hape tapi hanya untuk memutar video nya sendiri
hasil rekaman emaknye. Nah, jalan tengah ini lebih bisa diterima ketiga pihak: aku, ibuku, dan anakku.
Cara terakhir adalah bagi wawasan via sosmed. Yap, aku sarankan ini juga dicoba
hahaha. Sesekali aku nge-share artikel-artikel tertentu dengan maksud mengedukasi halus ibu-ayahku yang juga jadi friend di fesbuk (karena ortuku kerap
menelan (plus mempercayai) banyak banget informasi disana), terutama artikel
tentang bahaya paparan gadget yang berlebihan untuk anak. And it
works, lho! Kombinasi antara ketiga cara ini ortuku jadi lebih aware
dan menghargai prinsipku. Lagian, masa punya hape buat fesbukan doang, sakjane
lho bisa googling juga cuman yaa mungkin mereka enggan aja atau karena nggak biasa.
Ketiga, coba pindah rumah dan pisah sama orang tua. Ini khusus buat yang masih tinggal
se-rumah dengan orang tua. Usahain ada anggaran untuk minimal ngontrak,
se-sempit apapun kontrakannya, percaya deh tinggal se-rumah dengan suami
dan anak-anak bakal feels better. Bonding keluarga inti makin erat,
makin mengenal satu sama lain, dan prinsip-prinsip dalam parenting lebih mudah
kita aplikasikan. Kalau nggak bisa tinggal jauh sama orang tua, usahain aja
beda rumah tapi tetap berdekatan.
Kalau misalnya pada masih serumah karena ortu kita sudah tua dan
sakit-sakitan, tentu beda ceritanya ya dan nggak mungkin kita tinggal begitu
saja. Minta kadar sabarnya ditambah lagi ama Allah, bahu dikuatkan yah bund..
Keempat, belajar untuk berkompromi. Salah satu caranya seperti yang aku contohkan di atas
tadi. Kita perlu tau dulu batasan apa saja yang bisa kita kompromikan, mana aja
yang termasuk kategori “tidak bisa diganggu gugat”. Kalau aku, perihal yang
tidak bisa diganggu gugat adalah ASI dan MPASI alami selama aku mampu, vaksin,
batasan screen time, dan pola pengasuhan lain. Tapi pada akhirnya
perihal di atas juga harus di nego lagi, misal, pemberian MPASI yang
campur-campur, screen time yang kerap diberi kelonggaran ama si nenek,
dan lain-lain. Kalau sudah begini, tentukan batasannya lebih rinci lagi.
Kemudian yang paling penting adalah soal rokok. Aku galak banget dah kalo urusan yang ini. Pertama, aku gak tahan bau asap rokok karena aku punya asma. Kedua, tentu aku tidak mau anakku terpapar asap rokok yang berakibat buruk bagi kesehatannya. Kalau ada keluarga yang lagi mampir ke rumah dan merokok, jelas bakal aku tegur. Sebisa mungkin aku juga meminta agar orang tuaku melihat keadaan sekitar kalau lagi membawa si kecil jalan-jalan tanpa aku.
Last...
Sejatinya membesarkan, mengasuh, dan mendidik si kecil tidak bisa dilakukan hanya oleh ayah dan ibunya. Perlu, sangat perlu, melibatkan dan mengondisikan keluarga inti lainnya serta lingkungan si anak. Sebisa mungkin, kita bisa melindungi anak kita, menjaganya, membesarkan dan mengedukasi sesuai prinsip-prinsip mulia yang kita yakini. Tetapi, ketika dihadapkan pada kondisi di luar yang bisa jauh berbeda, perlu kemampuan beradaptasi dari kita sebagai orang tua.
Semoga bunda dan ayah bisa terus kompak dalam pengasuhan tiga generasi ini ya 😊
Referensi:
Foto dan animasi : Freepik.com
https://www.brilio.net/serius/ayah-dicibir-biarkan-anaknya-menangis-jawabannya-nggak-terduga-170922s.html
Tidak ada komentar