Selama 3 tahun ini, sejak
menikah lebih tepatnya, hidupku nomaden. Jogja-Sidoarjo-Malang-dan balik Sidoarjo
lagi. Penyebabnya ya karena kuliah dan kerja suami yang saat itu belum tetap.
Karena hidup di tiga kota/kabupaten yang berbeda dalam waktu yang relatif
cukup, aku jadi punya semacan love-hate relationship dengan ketiga kota dan
kabupaten di atas.
Tapi kali ini aku ingin
membagikan pengalamanku tinggal selama 3 tahun di Jogja.
Aku dan suami pertama
kali datang bersama ke Jogja tahun 2014, setelah kami lulus dan kami sama-sama
sedang mengikuti serangkaian tes untuk S2. Sebelum menikah, kami sama-sama ngekos.
Suamiku tinggal di daerah Kedawung, di sekitar kampus selama kurang lebih 6
bulan. Sementara aku ngekos di Ring Road Utara dan setelah 3 bulan, aku pindah
tinggal sendiri di kontrakan yang akan kami tinggali untuk hidup pasca menikah.
Jogja: Yes untuk Traveling, No untuk Living
Harga properti di Jogja
terbilang cukup mahal. Tapi kalau cukup jeli, masih bisa kok dapat kontrakan
cukup baik dan layak dengan harga 7-10 juta per tahun. Kontrakan pertama kami
di depan Pasar Lempuyangan. Susah disebut sebagai kontrakan, lebih tepat
disebut sebagai paviliun. Hanya dua kamar, satu kamar mandi, dapur, ruang
sempit untuk menjemur baju, dan secara keseluruhan tidak terlalu luas. Tidak
ada pagar. Tapi meski begitu, karena cukup tinggi, jadi tidak terlalu panas dan
syukurlah daerah yang aku tinggali saat itu terbilang aman dan strategis.
Setelah setahun, kami
pindah untuk mengontrak di daerah Sedan, tepat belakang Monjali. Kali ini
kontrakan kami berbentuk rumah, berada di samping masjid dan lebih sepi.
Rasanya menderita banget saat aku hamil, masih menggarap tesis sementara suami
sudah kerja di Malang, nggak boleh nyetir motor sendirian, dan harus tinggal
berdua dengan mbak rewang yang juga gak bisa naik motor!
Saat itu gojek belum
masuk Jogja, jadi kemana-mana harus naik taksi yang juga susaaaah sekali di
telepon. Inilah yang nggak aku suka dari Jogja, transportasi publiknya nggak
asik!
Makanan di Jogja?
Relatif murah, tapi dengan rasa yang standar jika aku bandingkan dengan cita
rasa jawa timuran di Malang dengan harga yang serupa.
Aku juga kurang suka
suasana di Jogja yang terbilang sungup atau agak temaram. Kalau malam-malam
berkendara di Kota Jogja maupun di daerah Sleman, rasanya agak
merinding-merinding gimanaaaa gitu. Hal ini dirasakan juga ama suamiku. Makanya
secara keseluruhan, aku merasa kurang nyaman tinggal di kota ini.
Tapi, seperti makan
coklat, selalu ada rasa manis yang terselip dibtengah rasa pahit. Selalu ada
yang membuatku rindu dengan Jogja.
Cinta yang kami tanam di Jogja... membuat kami selalu ingin kembali ke sana.
Pertama, aku suka dengan
atmosfer kreatifitas dan produktifitas masyarakatnya. Saat mengontrak di Sedan,
sebagian besar tetanggaku adalah generasi X dan generasi zaman old lainnya.
Tapi, semangatnya untuk berkarya dan bekerja luar biasa. Nggak ada
ngeluh-ngeluh, energi positifnya sering aku jumpai saat kami shalat berjamaah
di masjid depan rumah.
Suatu ketika, aku mampir
di rumah bu RT (lupa namanya hiks) di malam hari dan rupanya beliau dan
suaminya sedang membuat tempe berbentuk segitiga dan persegi panjang yang
biasanya dibuat tempe mendoan. Mereka berdua bercakap-cakap dengan riang,
sebuah kemesraan di hari tua yang sangat manis.
Sempat aku dan suami
main ke daerah mBantul untuk mencari penjahit dan gawangan (display baju dan jilbab) yang bagus dan murah. Kalau
penjahit, kebetulan aku sudah punya kontaknya. Kalau pengrajin, masya Allah,
ketemu aja sih setelah muter-muter, hanya dengan modal bertanya sana sini.
Sayang sekali aku sudah nggak menyimpan kartu nama si bapak. Bapak pengrajin
ini dulunya sering mengekspor kerajinan bambu, namun karena pemimpinnya ganti,
kebijakan ganti, rezekinya pun berganti. Hm.. sedih ya. Tapi walau begitu, si
bapak nggak surut. Beliau tetap mengerjakan 1-2 pesanan dari warga lokal,
termasuk aku.
Kedua, aku punya kesan
tersendiri saat tinggal di paviliun di depan Pasar Lempuyangan. Paviliun kami
jauh dari kata mewah, lha 10 juta per tahun di daerah kota pula. Tapi,
tempatnya sangat strategis dan tetangga kami sangat ramah serta hangat. Dan
pasar lempuyangan bener-bener ngangenin. Harganya yang murah abeess, jajanan
yang serba ada, dan pilihan lauk-pauk sayur-mayur yang beragam. Mendadak aku
jadi hobi masak dan suamiku jadi agak membengkak.
Ketiga, kesan saat kami
pindah ke kontrakan di Sedan. Aku mengontrak di deretan rumah kontrakan milik
seorang dosen FK UGM dan dokter. Beliau rupanya sangat selektif dalam menerima
orang yang akan mengontrak. Alhamdulillah, beliau menerima kami, dengan harga
10 juta per tahun dan dengan kondisi rumah yang cukup baik.
Nama beliau adalah Bu
Eti.
Bu Eti sempat bertanya
kepadaku, apakah aku sudah hamil? Aku jawab, belum, Bu, mohon doanya hehe. Eh
beliau menimpali, “biasanya yang ngontrak disini tuh cepet hamilnya.
Mudah-mudahan ya mbak...”
Tiga bulan kemudian, aku
positif hamil.
Keempat, aku punya
daftar kuliner favorit di Jogja. Meskipun sebagian besar makanan Jogja terasa
aneh di mulutku, tapi ada aja bakso dan mie ayam favorit di tamsis, sup merah
di tamsis, nasi uduk palagan, onde-onde dan lupis di sepanjang jalan solo, daaan
lain-lain. Kangen ngen ngen :’)
Kamu juga punya cerita
tentang Jogja? Bagi disini boleh dong J
kok sama sih mba, antara benci tapi rindu sama jogja soalnya ada berjuta kisah di sana. hihi
BalasHapusJogja never ending. Lahir dan besar di sana, membuatku kini selalu rindu setelah berjauhan.
BalasHapusSepuluh tahun meinggalkan jogja terasa banget kalo saya gagap jogja. Padahal lahir dan besar di jogja, 31 tahun jadi orang jogja.
BalasHapusbisa begitu ya, ngontrak disini cepat hamilnya. Apa karena rumahnya bikin nyaman ya
BalasHapusHalo Mba,
BalasHapusSama juga dengan hbgan asmara ya mba, ada love hate nya.. hehe
saya belum pernh ke Yogja, tapi sering mkan ole2 yang dibawa teman kerja, Bakpia, fav banget mbak.
Salam kenal ya,