Eh, bisa ya bayi ASI kekurangan zat besi?
Kalau pertanyaan itu yang ada di benakmu, tak jawab langsung: bisa! Anak
keduaku baru beberapa bulan lalu mengalaminya.
Begini, sebelum detail cerita, aku mau nanya dulu, ya. Buibu pernah dengar
kata ADB? Kalau boleh aku tebak, yang pernah dengar ADB kalo bukan anak
kedokteran, ya pernah ngalamin, atau ngikutin storiesnya dokter-dokter hits di
Instagram! Iya, gak? Ngaku! Hehehe.
Begini kisahku...
ADB itu singkatan dari Anemia Defisiensi Besi. Aku pertama kali kenal ADB
saat anak pertamaku berat badannya agak seret naiknya, padahal sebetulnya masih
gizi baik, pola bagus, dan masih di kawasan warna yang aman. Tapi, namanya juga
makmak anyaran ya, udah panik duluan. Apalagi, ibuku juga nggupuhi, bingung
cucunya kok nggak gemuk dan udah buru-buru mau ngasih susu substitusi. Duh, kemretek
atiku.. Memang persoalan kekurangan zat besi pada bayi (ADB) ini nggak bisa disepelekan, sebab, ada beberapa efek kekurangan zat besi pada bayi yang bisa berdampak hingga anak tumbuh dewasa. Misalnya saja stunting, yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai dampak yang paling dihindari. Kemudian, bayi jadi kurang benerergi, lemas, kurang bagus penyerapan gizi pada makanan dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan pada aspek lainnya.
Dokter Dini kemudian memeriksa anakku yang saat itu berusia sekitar 12
bulan. Dokter Dini sempat melakukan pemeriksaan sebentar melalui matanya,
kemudian meminta anak pertamaku untuk tes darah. Setelah hasil keluar, rupanya
negatif. Syukurlah.
Saat itu aku kira ADB rawan menjangkit anak-anak yang sudah mulai MPASI
atau di atas 6 bulan. Karena kan pada saat itu bayi-bayi lucu sudah mulai butuh
zat besi lebih banyak dan ASI saja tidak bisa memenuhinya. Aku berasumsi, bayi
sebelum MPASI ga ada masalah apa-apa.
Namun, nyatanya, aku salah dan lalai. Nyesel banget kalau ingat waktu itu.
Awalnya aku sudah cukup PeDe dengan kemampuan pelekatan serta menyusui
(perihal yang menjadi masalah utama saat anak pertama dulu) dan masih mengingat
betul cara perawatan bayi. Aku bahkan merutinkan pumping agar anak
keduaku lebih banyak dapat hindmilk serta menabung berat badan yang baik
sebelum MPASI. Karena biasanya kalo udah MPASI kan lebih banyak susut, ya. Aku
juga sudah membekali diri dengan beragam resep serta pengetahuan tentang MPASI homemade
(masalah besar kedua saat anak pertamaku dulu).
Rupanya eh rupanya, seberapa siap pun kita, kalau memang Allah menghendaki
datangnya ujian; ya datang juga. Anakku, katanya, sempat diikuti something
unseen. Yang ini tidak akan aku bahas lebih detail, ya. Kira-kira
kejadian ini ketika ia berusia 3.5 bulan. Dia jadi nggak bisa tidur malam lebih
nyenyak, waktu tidur siangnya pun lebih singkat, selalu minta gendong (sesuatu
yang gak biasa di anakku karena sebelumnya dia sudah terbiasa tidur teratur),
menangis tiap malam, dan lebih rewel. Dua minggu awal aku masih bisa menghadapi.
Makin lama, aku makin stres dan sumpek karena waktu bermain dengan kakak
berkurang dan aku tidak tau bagaimana mengatasi masalah di anak keduaku ini.
Dia, bahkan, sampai menolak untuk disusui, begitu pula dengan pemberian
ASIP.
Berusaha rileks, tapi susahnya bukan main. Puncaknya adalah waktunya
kontrol ke Dokter Dini. Dia hanya naik sekitar 200-300 gr selama sebulan. Ini
aneh. Banget. Aku ceritakan pada beliau tentang masalahku, katanya, mungkin
karena dia nggak rileks dan susah tidur makanya pengaruh ke berat badan.
Aku pun berusaha nelateni menggendong setiap malam, dibantu gantian dengan
mbak rewangku selama sebulan lebih sampai tengah malam. Bulan Maret, aku
kontrol lagi dan berat badannya hanya naik 200 gr. Aku mulai gelisah. Suamiku
bilang disyukuri aja karena tetap naik. Hadu.. ini bukan tentang tidak
bersyukur. Walaupun aku paham, sih, maksudnya baik. Tetapi, yaa, aku jadi bete
dong karena suamiku terkesan nggak paham. Kan indikator pertumbuhan bukan hanya
sekedar "tetap naik".
Selain naik, polanya juga harus diperhatikan. Apakah menurun? Naik pun,
juga sebaiknya memenuhi target pada bulan selanjutnya. Kalau diberi target
minimal 500 gr agar tetap berada di zona yang aman dan cuma naik 200 gr,
berarti kan ada masalah. Dokter Dini kembali melihat caraku menyusui, ya nggak
ada masalah. LDR terus pula. Aku kembali mengubah-ubah posisi menyusui. Tapi
sebetulnya, aku cukup yakin kalau soal nenenin, tidak ada masalah.
Bulan berikutnya, aku shock karena berat badannya hanya naik 40 gr
dalam sebulan! Aku merasa kehilangan kendali dan ingin marah sekali dengan
keadaan beberapa waktu lalu. Dokter Dini kemudian menyarankan untuk tes darah
karena melihat bibirnya anakku kurang merah merona. Benar saja, setelah
hasilnya keluar, ternyata memang zat besinya kurang. Kalau minimal jumlah HB
itu 11, anakku cuma 10.8. Memang sangat ngepres, tetapi tetap terhitung kurang
dan kalau nggak segera diatasi, bisa membuat tumbuhnya nggak optimal. Akhirnya
anakku diberi suplemen zat besi, karena kan belum waktunya makan, ya.
Cuplikan hasil tes. Lihat bagian yang dilingkari dokter. |
Dokter Dini berkata, kemungkinan penyebabnya adalah dia tidak mendapat
bekal zat besi yang cukup dari aku semasa melahirkan. Ini memang betul, setelah aku cek tes darahku sehari sebelum operasi SC, HGBku 11.8 yang menurutku ya cukup ngepres dibanding hasil tes darah pada bulan ke-7. Yang kedua, karena kurang
tidur. Bayangin dong, dua bulan lebih loh anakku tidurnya tengah malam mulu.
Tidur siangnya juga pendek. Makanya waktu tidurnya jadi kurang!
Nah, begitu sudah mulai MPASI, aku diminta untuk menunda pemberian sayur
dan protein nabati, meminimalkan buah, serta mengutamakan protein hewani dan
karbo. Dari buku yang beliau rekomendasikan aku jadi paham bahwa zat besi pada
protein hewani jauh lebih cepat diserap tubuh dan ini artinya sangat bagus
ketimbang protein nabati. Dan karena anakku kondisinya urgent, jadi ya
harus diutamakan dulu.
Upayaku membuahkan hasil, kombinasi suplemen zat besi plus MPASI homemade
membantu berat badannya kembali naik 190 gr. Bulan selanjutnya, naik 300 gr,
dua minggu setelahnya, juga baik 320 gr. Alhamdulillah. Pola dan grafiknya
membaik. Menurut Dokter Dini, ia sudah kembali berada di zona hijau muda.
Sekarang, aku masih mengupayakan hal yang sama: sesekali memberikan
suplemen dan mengutamakan pemberian MPASI homemade dengan prioritas protein hewani dan karbo.
Hikmahnya….
Dari ceritaku di atas, aku belajar beberapa poin penting tentang defisit
zat besi atau ADB pada bayi yang masih ASI eksklusif.
Pertama, pahami gejala awal bayi yang kekurangan zat besi. Menurutku ini nggak bisa sendiri ya,
harus ke dokter. Memang ada tanda-tanda umum seperti pucat, lemas, dan
teman-temannya itu lah. Tapi dokter akan melihat lebih detail. Misalnya saja
yang dilakukan dokter dini kepada kedua anakku: mengamati kemerahan di kelopak
mata dan mengamati rona merah pada bibir. Dari situ dokter akan memutuskan
apakah perlu tes darah atau tidak.
Nggak perlu parno duluan kalau sudah disuruh tes darah, ya. Karena memang
tes lab ini adalah salah satu cara mengetahui bayi yang kekurangan zat besi. Hasil tes lab membantu dokter
memutuskan apakah memberi suplemen atau tidak diberi apa-apa. Jadi jangan
memutuskan sendiri ya gess.. kalau bayinya ternyata sehat dan sudah banyak zat
besinya tapi diberi suplemen zat besi, nanti malah sembelit lagiiii.
Kedua, pahami penyebabnya. Kalau menurut dokter Dini, penyebab kekurangan zat besi yang
ada di anak keduaku adalah karena cadangan zat besi kurang dan karena kelelahan
serta kurang waktu tidurnya. Nah, dokter Dini sempat memberitahu bahwa
seharusnya sebelum melahirkan, seorang ibu di cek dulu apakah zat besinya
cukup. Jika kurang sedikit atau ngepres, sebaiknya diberi suplemen agar bisa
memberi bekal yang cukup untuk bayi.
Kenapa jadi bekal? Karena zat besi tidak banyak bisa dialirkan lewat ASI.
Kalaupun ibu yang minum suplemen, juga tidak bisa memberi pengaruh apa-apa pada
ASI. Jadi, kalau ada bayi ASIX yang kena ADB yang kasusnya seperti Laiqa gini,
ya solusinya diberi suplemen zat besi.
Ketiga, pahami solusinya. Kalau sudah tau masalahnya apa, tentu
mudah bagi dokter untuk segera mencari solusi yang bisa mencabut akar masalah.
Pada kasus anakku, solusinya adalah diberi suplemen zat besi dan melalui MPASI.
Dokter Dini tentu tidak menyarankan pemberian susu substitusi maupun MPASI
pabrikan, arena selain bukan solusi yang mengatasi akar masalah, pemberian susu
substitusi dan MPASI pabrikan bisa membawa masalah baru. Kebetulan, anak
pertamaku sudah mengalaminya, yaitu saat terkena konstipasi karena makan MPASI
pabrikan. Ada kandungan susu di dalamnya yang nggak cocok di pencernaannya.
Kalau memang si anak konsumsinya susu substitusi, maka solusinya selain
diberi suplemen, mungkin bisa dengan mengganti susu.
Dari sini aku bersyukur dan jadi lebih paham dan tidak ujug-ujug memberikan
solusi ke anak.
Nah, pemberian suplemen zat besi sendiri sebetulnya ada resikonya, namun,
bukan resiko yang berbahaya banget. Paling ya cuma jadi polusi udara di rumah
aja HAHA. Pertama, pasti ada perubahan warna poop bayi. Kalau biasanya kuning
keemasan dengan tekstur lembek (khas bayi ASIX yes), setelah minum jadi agak
kehijauan. Bayi juga kadang agak ngeden gitu. Jujur saja kami sama-sama
khawatir karena si kakak sudah pernah ada riwayat sembelit kronis, khawatir si
adek berpotensi juga. Akhirnya dokter pun memberi dosis yang rendah dan
ditingkatkan seiring pertambahan berat badan bayi.
Kedua, bau kentut dan poopnya itu loohhh.. rasanya kayak mbersihin poop
orang dewasa! Hehe.
Pasca kondisi kembali normal…
Aku selalu menggendong anakku tiap malam sejak bulan Februari 2019 sampai
dengan bulan Juni 2019. Kami sudah beberapa kali mencoba menormalkan tidurnya
Laiqa: tidur di kasur dengan cukup dinenenin aja tanpa gendang-gendong, tetapi
belum berhasil. Laiqa kembali tidur tengah malam. Pada rentang waktu itu pun,
dia masih sesekali rewel dan susah tidur. Katanya, sih, yang ngikutin sudah
pergi. Tapi, yah mungkin karena sudah kadung terpola kali, ya.
Meski begitu, aku tetap optimis kondisi Laiqa bisa kembali normal.
Kira-kira beberapa minggu sebelum hari raya, kami mencoba kembali menidurkan
Laiqa tanpa gendong. Beberapa kali coba, berhasil tanpa drama. Hatiku sungguh
bungah tak terkira.
Kini, pola tidurnya kembali normal. Namun, untuk ADBnya, kami belum tahu karena
belum waktunya untuk cek darah lagi. Meski begitu, aku optimis Laiqa bisa
segera pulih. Wajahnya sudah jauh lebih cerah dibanding beberapa bulan lalu.
Makannya lahap dan sangat menyejukkan hatiku.
Tidak ada komentar