Tahun lalu aku mendapat beberapa direct message di Instagram dari beberapa teman kuliah. Mereka meminta pertimbangan sebelum resign kepadaku. Kalau ditanya begitu, aku jadi bingung, lho. Soalnya, aku kan nggak ikutan kerja, nggak tau seperti apa pekerjaannya, bebannya, kondisi keluarga, dan banyak hal lainnya. Jadi biasanya aku hanya memberi satu saran pertama: pertimbangkan dulu.
Terkadang aku merasa kurang pantas menjawab pertanyaan teman-temanku karena belum pernah bekerja kantoran secara penuh. Jadi, aku kurang memahami bagaimana dinamika dan peralihan peran dari menjadi pekerja kantoran yang aktif ke ibu rumah tangga yang juga aktif, tapi beda dalam hal beban dan apresiasi.
Tidak akan buru-buru aku memberi saran kepada mereka untuk menjadi ibu rumah tangga secara penuh waktu. Sama saja aku menjerumuskan, dong. Walaupun aku menjadi IRT sejak lulus kuliah S2, tetapi aku masih bekerja di rumah. Aku sendiri merasa menjadi IRT itu buerat banget. Perbedaan aktivitas dari perkuliahan ke rumah tangga saja sudah membuatku sumpek, apalagi kalau kerja kantoran.
Untuk itu aku meminta pandangan dari teman-teman di Instagram yang sudah berpengalaman resign dan menjalani keputusan lain setelah resign. Melalui postingan ini, aku akan memadukan pengalamanku dan pengalaman mereka. Terima kasih, ya, untuk teman-teman yang sudah isi question box dan mengirim DM padaku. Selamat membaca sampai tuntas, ya.
Beberapa Pertanyaan yang Harus Kamu Jawab
Segala keputusan yang muncul dalam keadaan sangat emosional itu biasanya bukan keputusan yang baik. Begitu pula keputusan pertimbangan sebelum resign, baiknya jangan gegabah. Pelan-pelan dulu, sambil bawa ngobrol sama pasangan dan anak (kalau anaknya udah bisa diajakin ngobrol agak berat).
Tapi, sebelum ngobrol sama orang lain, ada beberapa pertanyaan yang sebaiknya kamu tanyakan ke diri sendiri dulu. Beberapa pertanyaan itu antara lain:
Kenapa harus resign?
Karena lingkungan kerja yang kurang nyaman, karena anak sakit dan butuh atensi lebih, karena ingin berhenti LDM, karena ingin fokus ke penyembuhan, karena gaji yang kurang, karena nggak worth it dengan waktu yang berkurang bersama anak, atau karena hal lain? Coba jawab dulu deh pertanyaan nomor satu ini karena berkaitan erat dengan alasan yang paling mendasar.
Apa yang akan aku lakukan setelah resign?
Pertanyaan ini merupakan kelanjutan dari pertanyaan di atas. Kalau alasannya karena anak sakit, tentu fokusnya adalah pada kesembuhan anak. Barangkali nanti bisa kerja lagi, ya dipikir entar dulu. Kalau alasannya karena ingin lebih dekat dengan pasangan, tentu kamu harus menyiapkan kegiatan setelah resign atau mencari tempat kerja baru di kota yang baru.
Kapan aku harus memulai aktivitas baru?
Setelah resign mungkin kita akan kepengin leyeh-leyeh dulu. Ya enggak papa, tapi kalau kamu memiliki target lain, maka sebaiknya memberi waktu mau berapa lama bersantainya. Kalau kamu resign karena baru saja melahirkan, ambil dulu saja waktu untuk mengurus baby newborn-mu. Capek banget, lho, ngopenin bayi itu. Dan tentu saja kamu tidak perlu merasa bersalah atau merasa tidak produktif. Produktif itu tidak selalu menghasilkan rupiah, kan?
Bagaimana kalau aku bosan dengan kehidupan baru setelah resign?
Kalau kamu sudah nyaman banget dengan pekerjaan di kantor, memiliki banyak teman, dan penghasilan yang tetap, pahami bahwa belum tentu kehidupan setelah resign akan senyaman itu. Mungkin kamu akan memulai karir lagi dari nol atau mungkin menjalani aktivitas yang sama sekali berbeda. Sebaiknya kamu sudah mempersiapkan, setidaknya ada dalam benak, mengenai bagaimana cara kamu mengatasi kebosanan setelah resign nanti.
Siapa yang paling mendukung dan menentang atas keputusan resignku?
Kalau kamu tinggal di Indonesia, rasanya susah kalau keputusan resign hanya kamu bicarakan dengan pasangan saja. Mungkin kamu juga bakalan cerita ke sahabat atau orang tua kamu. Kalau kamu merupakan sandwich generation dan menanggung sebagian atau seluruh beban orang tua, bicarakan pula keputusan ini dengan beliau.
Yang paling penting adalah kamu harus bisa melihat siapa yang mendukung dan menentang keputusan resignmu nanti. Orang-orang yang mendukung biasanya akan ikut memberi solusi dan bisa “minjemin bahu” kalau kamu lagi down. Sementara kalau ada yang menentang, coba cek dulu, menentang itu karena apa. Karena ikutan terdampak atas keputusan resign atau karena julid aja.
Nah, kalau soal nama baik keluarga itu yang agak repot. Kadang ada orang tua yang malu kalau anaknya nggak kerja dan “hanya” jadi IRT. Apa kata tetangga. Ya kira-kira begitu, lah. Aku paham banget soal hal ini karena ikut ngerasain juga hahaha. Jadi, aku rasa yang perlu kamu lakukan adalah mengetahui dulu kenapa resign jadi membuat nama baik keluarga “tercemar”? Apa karena kamu adalah tulang punggung di keluarga orang tua, atau karena sekadar gengsi, karena ortu pejabat, atau hal lain?
Apakah keputusan resign akan memengaruhi keluarga?
Pengaruh ini bisa muncul dalam banyak aspek. Baik dalam keuangan keluarga, keharmonisan dengan suami, nama baik keluarga, hingga kepercayaan diri kita sebagai perempuan.
Dalam hal keuangan keluarga, memang tidak ada cara lain selain diskusi yang matang dengan suami. Semua keluarga punya takaran masing-masing tentang “kondisi keuangan yang aman”. Kalau memang perlu bantuan profesional, bisa konsul sekalian ke financial planner. Aku sangat menyarankan agar memiliki safety net yang baik karena buibu rumah tangga itu bisa mudah uring-uringan kalau ada masalah keuangan. hehehe.
Beberapa Kondisi yang Perlu Kamu Persiapkan Sebelum Jadi Full Time IRT
Setelah selesai mengajukan pertanyaan untuk diri sendiri dan berdiskusi dengan keluarga, saranku kamu perlu beberapa pertimbangan sebelum resign berikut. Oh ya, poin-poin ini aku susun atas bantuan teman-teman followers di Instagram @NabillaDP. Terima kasih banyak yaa buat yang sudah memberi masukan pertimbangan sebelum resign dan menjadi ibu rumah tangga secara full time. You rock!
Persiapan Mental
Saran ini adalah yang terbanyak yang diberikan oleh teman-teman di question box. Aku pun sepakat, persiapan mental ini harus kita utamakan dalam pertimbangan sebelum resign. Aku sendiri sudah mengalami gejala post partum depression yang baru aku ketahui beberapa tahun setelah melahirkan dan memiliki penyakit psikis lainnya yang belum bisa aku bagikan di sini. Aku rasa salah satu sebabnya adalah shock dengan peran baru, tuntutan yang sangat banyak, dan kelelahan.
Itu baru dari aku yang switching peran dari mahasiswa S2 ke ibu rumah tangga. Kalau untuk kamu yang bekerja kantoran, menurut sebagian besar bunda, akan ada kemungkinan mengalami post power syndrome. Intinya, post power syndrome ini merupakan rasa kehilangan peran yang dimiliki sebelumnya, misalnya mendapat gaji, pujian dari atasan, dihargai oleh rekan kerja, dan interaksi dengan banyak orang.
Ketika sudah menjadi IRT secara full time, kita di rumah hanya dengan anak, suami, rewang, dan mungkin juga ada beberapa keluarga yang ikut (jika kamu tinggal tiga generasi dalam satu atap). Jadinya interaksi intens hanya dengan mereka-mereka aja. 4L deh, LU LAGI LU LAGI. Perasaan post power syndrome ini bisa mengarah ke menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna sebagai ibu, atau bisa juga kalau penyalurannya tidak tepat, jadi ibu-ibu julid yang suka mengomentari orang lain karena sebetulnya ada kebutuhan diri yang belum terpenuhi.
Beberapa persiapan mental yang dapat aku sarankan antara lain:
1. Mengecek Love Language. Sejauh ini yang aku ketahui, ada 5 love language. Kamu bisa googling dan ikutin tes agar tau kamu tipikal orang yang suka diperlakukan seperti apa secara dominan. Dengan begini, kamu bisa mengomunikasikan ke suami dengan tepat seperti apa kebutuhanmu. Misalnya, kamu tipikal orang yang suka diapresiasi secara verbal. Lalu suamimu enggak tau hal ini. Perkara sederhana ini bisa jadi masalah, karena istri merasa tidak dihargai sementara suami merasa sudah cukup memberi kasih sayang.
2. Ketahui batasanmu. Setiap orang pasti punya batasan pada titik mana ia merasa lelah. Buatlah batasanmu, terutama kalau kamu tinggal bebarengan dengan mertua atau orang tua. Komunikasikan dengan suami. Misalnya, kamu mudah lelah kalau harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian. Maka solusinya adalah membagi pekerjaan rumah serta pengasuhan anak bersama suami atau mendelegasikan sebagian pekerjaan ke ahlinya, ke tukang laundri misalnya, atau langganan catering harian.
3. Ketahui apa yang membuatmu lelah dan mudah emosi. Kalau kamu memiliki watak bawaan yang mudah marah, kamu perlu mengecek pada diri sendiri tentang hal-hal yang membuatmu sangat lelah dan menguras emosi. Kemudian, mintalah bantuan pada suami, bahwa ketika kamu marah, itu tandanya kamu sedang lelah. Minta padanya untuk tidak ikut-ikutan marah, minta bantuan untuk menangani situasi. Poin ini tidak berlaku ya kalau kamu sudah memiliki pasangan yang super pengertian. Cie..
4. Buat jadwal. Tidak harus secara rinci, tetapi paling tidak kamu ada gambaran kapan akan melakukan ini itu, seperti belanja bulanan, olahraga, bermain bersama anak, nonton film, dan sebagainya. Jadwal ini membantu kamu untuk memiliki rutinitas dan tidak terjebak pada pikiran “aku enggak ngapa-ngapain”. Selain itu, jadwal juga membawa manfaat untuk anak agar lebih mandiri dan memiliki rutinitas baik.
5. Konsultasi ke psikolog atau psikiater jika perlu. Untuk hal ini hanya kamu ya yang mengetahui kondisimu. Jika kamu memiliki trauma masa kecil, pernah mengalami baby blues, PPD, atau keluhan psikis lainnya, kusarankan kamu mengunjungi profesional sebelum memutuskan resign. Kalau memang kamu hanya ingin check up saja, aku sarankan ke psikolog saja, kalau ke psikiater biasanya akan ada medical therapy seperti obat atau terapi lainnya.
Persiapan Finansial
Sebelum resign, pendapatan keluarga bersumber dari dua aliran, yakni dari istri dan suami. Kalau salah satunya resign, pasti ada ketimpangan, ya. Kecuali jika pendapatan suami naik atau ada pengeluaran yang dapat dihemat. Ini semua sangat personal, Bunda harus melihat pada diri sendiri dan keluarga.
Oleh karena itu, sebaiknya, minimal bicarakan tentang persiapan finansial sebelum resign bersama suami. Jika Bunda menanggung beban lain seperti orang tua atau saudara, bunda juga sebaiknya memasukkan tanggungan itu ke dalam obrolan. Persiapannya apa aja? Berikut yang bisa aku sarankan:
1. Ketahui berapa banyak pengeluaran. Bunda pasti melakukan pencatatan, kan? Enggak harus yang rapi banget, sih. Setidaknya tahu apa aja pengeluaran tetap per bulan misalnya SPP, listrik, air, internet, biaya makan, biaya vitamin anak dan dewasa, masker, hiburan, dll. Lalu cek apakah ada yang bisa dihemat atau tidak.
2. Siapkan dana darurat. Berapa banyaknya? Silakan Bunda melihat saran para ahli, ya. Aku enggak bisa memberi pendapat karena aku sendiri masih proses menyiapkan ahaha.
3. Miliki asuransi. Setidaknya asuransi milik negara deh atau kalau ada asuransi lain yang ditanggung kantor ya malah alhamdulillah. Asuransi kesehatan ini dapat membantu kalau ada sakit mendadak. Oh ya, sebaiknya semua keluarga yang berkaitan dengan kita juga punya asuransi, ya. Misalnya jika mertua atau orang tua masih kita tanggung, sebaiknya kita juga membuatkan asuransi untuk mereka.
4. Buat bisnis sampingan. Jika resign adalah keputusan yang tidak dapat kamu hindari sementara masih butuh pemasukan tambahan, cobalah untuk membuat bisnis sampingan. Saranku, jangan bisnis yang berat-berat dan mulailah dari apa yang kamu bisa. Mungkin aku akan membahas hal ini pada postingan lain, ya.
Mempekerjakan ART atau Bagi Tugas dengan Suami?
Menjadi ibu full time bukan berarti kita bisa melakukan segalanya sendirian. Asli, capek banget, bund. It’s ok kalau mau tetap menyewa jasa ART. Kamu bisa mencari yang ART pulang pergi atau menginap. Kalau kamu dapat ART yang menginap, kamu bisa memiliki waktu luang untuk aktivitas lainnya selain mengurus keluarga dan anak-anak. Tapi, kembali lagi ke kondisi keuangan masing-masing, ya.
Sementara kalau kamu memilih untuk tidak menyewa ART, bagi tugas dengan suami menjadi kunci berjalannya urusan rumah tangga. Coba diskusikan dengan suami pekerjaan apa saja yang dapat dia handle, kapan family time, dan kapan suami butuh me time. Dalam membagi tugas, upayakan seluruh anggota keluarga juga mendapat haknya masing-masing. Agar anggota keluarga bisa merasa tercukupi kebutuhannya.
Bangun Support System yang Baik
Tadi di atas sudah aku bantu dengan mengajukan pertanyaan siapa yang mendukung dan menentang keputusan resign. Orang-orang yang mendukung mungkin bisa kamu jadikan support system, yakni mereka yang bersedia kamu sambati dan kamu minta tolongi sewaktu-waktu untuk memegang anak-anak. Menurutku, memiliki tempat tinggal yang mudah diakses dan dekat dengan laundry-an yang murah dan catering harian itu juga merupakan support system.
Support system tidak harus berupa orang-orang yang mendukung. Bisa juga kita bangun support system dengan memulai kebiasaan baik, manajemen waktu yang baik, berolahraga, dan memiliki waktu untuk diri sendiri setiap hari.
Set Your Expectations About Your Kids and Family
Menjadi ibu rumah tangga in real life jauh dari kehidupan mommies selebgram dan para artis, ya, Bund. Dapat kukatakan jauuhh banget, lah. Secara kondisi keluarga, kondisi diri, serta kondisi anak pasti berbeda-beda. Oleh karena itu, lihatlah ke dalam keluarga dan anak-anak. Mungkin akan ada hari-hari yang terasa berat ketika anak sedang tantrum, tapi esok hari, bisa normal lagi. Ups and downs-nya sangat terasa dan dinamis.
Untuk mengetahui seberapa jauh kita bisa mengatur ekspektasi, tentu dengan berkomunikasi. Samakan tujuan dengan suami, mungkin akan ada perubahan waktu berduaan dengan suami, waktu untuk keluarga, perhatian, dan banyak hal lainnya.
Yang paling penting adalah menjadi hadir. Bahasa orang sekarang sih mindful. It’s ok rumah sesekali berantakan, atau anak sesekali enggak mau sekolah online, susah makan, dan kendala lainnya. Ketahuilah itu semua normal dan kamu tidak sendirian. Jutaan ibu mengalami dan sambat perihal yang sama setiap waktu hehehe.
Buat Rencana Setelah Resign
Rencana setelah resign ini bisa berhubungan dengan alasan resign. Seperti rencana untuk anak, rencana untuk keluarga, dan rencana untuk diri sendiri. Kalau anak-anak masih di bawah usia 3 tahun, mungkin kamu perlu membuat lebih banyak aktivitas untuk anak di rumah karena pada usia segini biasanya Bunda masih akan berkutat dengan drama makan dan anak belum bisa lama bermain sendiri.
Rencana untuk keluarga ini bisa beragam. Misalnya saja ada hari di mana orang tua dan anak masak bersama, olahraga bersama, atau rencana liburan bersama kelaurga. Bisa juga dengan Bunda belajar investasi untuk keuangan keluarga. Bermanfaat banget, kan?
Sementara rencana untuk diri sendiri bisa berupa aktivitas atau sarana aktualisasi diri yang baru. Yang jelas, aktivitas ini sebaiknya lebih banyak mendatangkan manfaat baik untuk diri, untuk keluarga, maupun untuk lingkungan sekitar. Upayakan agar terus bahagia ya, Bunda, karena bahagianya Bunda itu juga bahagianya keluarga.
Penutup
Hm.. kayaknya ini postingan yang cukup panjang dan berat di awal tahun. Semoga ada manfaatnya yaa buat bunda yang membacanya. Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Kalau kamu ingin berbagi cerita atau memberi tambahan untuk bunda lain yang akan resign, boleh yuk, isi uneg-uneg kamu di kolom komentar.
Kalau resign harus dipikirkan matang-matang. Gak harus langsung sekarang bilang:"Pak aku mau resign." Balada seorang yang mau resign emang susah² gampang ambil keputusan. Dari poin-poin yang sebutkan di atas, jadi tergambar harus apa dulu.
BalasHapusTernyata banyak banget yang harus dipikirkan sebelum memutuskan resign atau nggak. Aku sendiri, ngga sampai menyangka, ternyata sebanyak ini liat yang harus dipikirkan matang2
BalasHapusSupport system emang penting banget, jadi bisa resign dengan bahagia tanpa takut kalau switch jadi ibu rumah tangga bakal bosan atau sengsara.
BalasHapusAku pernah berada di posisi sudah nyaman bekerja. Memiliki penghasilan tetap setiap bulannya. Tapi merasa jenuh. Lantas inginnya resign.
BalasHapusTapi, kata temanku. Kamu pikirkan lagi deh. Setelah ini kamu mau kemana, mau apa dan sebagainya. Kalau masih belum ada pandangan apapun mending mempersiapkannya dulu saja. Gitu
banyak hal yang harus dipikirkan sebelum resign yaa. Kemarin saya resign karena udah mendapat kerja yang sesuai impian di tempat baru
BalasHapusBerbicara dengan pasangan dan keluarga memang tepat banget sih, apalagi kalau jadi anak satu-satunya dalam 2 keluarga besar antar amsing-masing pasangan. Jadi bisa dipertimbangkan bersama-sama..
BalasHapusPasti banyak hal yang dijadikan pertimbangan ketika resign. Salah satunya ya..bisa jadi dari sisi kesehatan mental. Dimana ibu bekerja di ranah publik biasa dengan aktivitas yang dinamis, mendadak saat resign dan tidak bekerja lagi. Tapi kalau dipikir-pikir, semua ada masanya yaa..
BalasHapusKini, masanya menikmati membersamai anak-anak tumbuh dan berkembang dengan pekerjaan yang super nyaman menjadi content writer, blogger dan influencer aktif.
Tipsnya mantul mbak. Aku juga dulu mempertimbangkan banyak hal sebelum resign. Sayangnya belum baca postingan mbak Nabila, jadi ya resign agak sedikit emosi. Ekwkwk
BalasHapus