“Kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepanjang galah”
Peribahasa itu aku kenal ketika masih berada di bangku sekolah dasar. Aku masih ingat ketika ibu mengajariku mengerjakan soal di LKS tentang peribahasa. Ibu membelikanku semacam buku pintar Bahasa Indonesia. Dulu, aku gemar menghapal perubahasa itu satu per satu. Bagiku, deretan kalimat perumpamaan itu sangat indah dan keren.
Tapi, aku mengernyitkan dahi tepat ketika mendengar peribahasa tentang perbandingan kasih sayang ibu dan anak.
Dalam hati, aku merasa berontak. Enggak, enggak seperti itu. Aku tidak terima apabila rasa cintaku untuk ibuku disamakan dengan senggek’an atau galah. Hanya saja aku tidak mampu mengutarakan apa yang kupikirkan untuk keluar menjadi kata-kata yang pantas didengar.
Perasaan ini berkecamuk ketika aku duduk di bangku belakang mobil ketika kami sedang perjalanan. Orang tuaku jarang mengajakku ngobrol ketika di jalan, sehingga aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan menatap jendela dan berbicara dengan diriku sendiri.
Andaikan memang kasih sayang anak itu sepanjang galah, setidaknya galah itu berfungsi, kan? Di rumah almarhum eyang, kami menggunakan galah untuk memetik pohon rambutan di halaman rumah buyut yang sudah berusia puluhan tahun dan selalu konsisten berbuah dengan rasa manis.
Andaikan kasih sayang ibu benarlah seperti jalan, lha kan ada tuh yang namanya jalan buntu? Apa iya, kasih sayang ibu ikutan buntu?
Daripada aku diomeli ibuku, aku diam saja. Menyimpan ketidaksetujuanku ini rapat-rapat. Aku mengikuti arus dan sepakat dengan peribahasa, kendati dalam hati aku telah berencana untuk menggugatnya. Suatu hari nanti.
Tersadar Ketika Sudah Menjadi Ibu
Hari pengajuan gugatan itu telah tiba. Terima kasih untuk zaman yang kian berkembang dan memudahkan akses belajar tips parenting untuk anak dari berbagai sumber yang kredibel. Sejak menikah, aku belajar ilmu parenting tipis-tipis. Begitu punya anak, naluriku untuk mendalami ilmu pengasuhan kian besar. Aku mengikuti beberapa kursus (yang non-judgemental) dan membaca beberapa buku tentang pengasuhan anak.
Pengalamanku sebagai ibu yang memiliki dua anak dan ditambah pula dengan ilmu yang kupelajari, membuatku yakin tentang gagasan masa kecil dulu. Cinta anak tidak sepanjang galah. Cinta keduanya, tidak perlu diperbandingkan. Cinta anak untuk ibu bisa sepanjang jalan, begitu pula cinta ibu untuk anak, bisa juga hanya sepanjang galah. Semuanya kondisional. Kita sudah menemukan banyak contoh ibu yang dzalim kepada anak, serta anak yang bersikap kurang ajar pada ibu.
Aku tidak ingin membandingkan cintaku pada ibuku dan cinta ibuku padaku, sebab kurasa tidak pantas untuk diperbandingkan. Tetapi, aku sungguh tidak tega jika mengatakan cinta anakku padaku hanya sepanjang galah.
Mahira, anak pertamaku, sangat khawatir kehilangan aku. Ia pernah mengutarakan pada ayahnya dengan nada yang tersedu-sedu, khawatir jika aku meninggal karena dia pasti akan sangat sedih dan merasa kehilangan. Belum lagi kegemarannya dalam menggambar dan memberiku pemberian. Dia sudah sepandai itu mengungkapkan emosinya.
Laiqa, anak keduaku, memiliki cara yang berbeda. Ia suka menunjukkan rasa cinta kepadaku dengan sentuhan fisik. Setiap malam, ia memeluk, mengelus-elus pipiku, dan mencium seluruh wajahku hingga wajahku jadi gampang jerawatan karena terkena air liurnya. Tak lupa, ia juga turut mendoakan dan memberikan love padaku: sebuah bentuk hati yang ia buat dengan kedua tangannya.
Yang membuatku trenyuh, mereka tetap mencintaiku kendati aku pernah memarahi mereka berdua. Kedua anak itu tetap menggenggam tanganku sebelum tidur, memintaku mendoakan untuk kebaikannya tiap malam, dan memelukku setiap pagi datang. Aku jauh dari sempurna sebagai ibu. Kendati sudah belajar tentang pola pengasuhan modern, aku masih susah memisahkan tentang pengetahuan yang seharusnya aku terapkan dengan pengetahuan yang telah terpatri di alam bawah sadarku sebagai anak.
Pada saat itulah aku yakin bahwa apabila kita menanamkan cinta pada anak, kita juga akan menuai kasih sayang dari mereka. Sampai kapan pun, tak terukur. Tidak perlu kita terlalu percaya pada peribahasa. Cukup lihat ke dalam hati anak-anak kita.
Tips Menanamkan Cinta Pada Anak
Aku bukan orang yang ahli dalam hal parenting. Kendati aku sudah belajar beberapa hal, itu tidak menjadikanku sangat fasih dalam menjalankan metode-metode yang kukenal. Kesalahan kecil kadang kuperbuat, tetapi, aku selalu berkomitmen untuk menjadi orang tua yang lebih baik lagi pada esok hari. Berikut sebagian tips parenting untuk anak, khususnya beberapa kiat untuk menanamkan cinta pada anak dariku.
1. Lihat Kesiapan Kita
Seberapa siap kita dalam memiliki anak? Kesiapan ini bisa berupa kesiapan lahir dan batin, ya. Pandang diri kita lagi, juga dengan suami, mampukah kita menjalankan amanah? Tanyakan lagi pada diri, apakah tujuan kita dalam memiliki anak sudah tepat? Ini untuk menghindarkan dari pikiran bahwa anak merupakan investasi orang tua.
Pemikiran zaman dulu ini sebaiknya kita tinggalkan, ya. Karena anak adalah manusia yang memiliki nurani dan akal pikiran, mereka juga kelak menjadi seorang dewasa yang punya keinginan. Betul bahwa doa anak akan membantu orang tuanya kelak, tetapi bukankah lebih baik anak mendoakan kita dengan sepenuh hati, dengan rasa sadar, dan kecintaan? Ketimbang kelak mengurus kita pada hari tua karena terpaksa dan ketakutan.
Kita bisa menyiapkan dengan belajar ilmu pengasuhan, menyiapkan keuangan keluarga sebelum memiliki anak, dan menyiapkan kesehatan kita. Sebaiknya, kita juga mengecek kesiapan mental, karena bagaimanapun juga, kehadiran anak bisa mengubah banyak hal termasuk tekanan mental pada ibu. Menyambut anak dengan kesiapan dan rasa bahagia pasti akan terasa berbeda dengan menyambut kehadiran amanah Tuhan dengan penuh tekanan.
2. Lihat Karakter Anak
Ketika aku sedang hamil, aku juga melakukan satu hal yang umum dilakukan oleh ibu-ibu muda di Instagram: ngelihatin bayi-bayi artis. Aku sukaa sekali dengan anak beberapa artis, sampai-sampai setiap aku membuka Instagram, aku selalu melihat update dari akun mereka. Tanpa kusadari, ini membuatku halu dan menyangka anakku akan “semudah” itu karakternya.
Penting untuk kita pahami bahwa anak punya karakter bawaan yang berbeda-beda. Selain itu, kondisi lingkungan, sosial, keluarga, itu juga sangat berpengaruh dalam pengembangan karakter anak. Boleh lah kalau mau melihat bayi-bayi Instagram yang menggemaskan. Tetapi, penting untuk tetap meihat anak kita sendiri agar tidak keblinger.
Anak-anak kita mungkin mudah rewel saat malam hari, susah makan, gampang tantrum, dan berbagai keluhan lainnya. Kondisi itu mungkin menyebalkan, tetapi pada saat itulah mereka justru perlu atensi kita secara penuh.
Pahami karakter anak, kemudian, belajar bagaimana strategi untuk mendidiknya. Ilmu pengasuhan secara umum bisa kita terapkan, akan tetapi biasanya pada pengaplikasiannya, bisa kita sesuaikan dengan kondisi keluarga serta karakter anak. Jangankan beda orang tua, satu rahim aja bisa beda-beda karakternya!
3. Kenali Peran Kita untuk Anak
Ketika aku mengikuti kelas parenting bersama Rangkul Keluarga Kita, aku diajari bahwa orang tua sebaiknya tidak berperan sebagai teman untuk anak. Sebab, teman anak-anak sudah banyak. Biasanya, teman sekadar mendukung anak. Tetapi orang tua, adalah sosok yang mampu mengarahkan anak dan memberi berbagai pertimbangan baik dan buruk.
Aku setuju dengan pendapat Bu Najeela Shihab. Tetapi, aku juga belajar hal lain di kelas neuroscience for parents. Ada tiga peran yang dapat kita lakukan untuk anak yakni sebagai pelindung (guardian), sebagai guru (teacher), dan sebagai teman (friend). Soal hal ini, akan aku bahas sendiri di postingan yang lain, ya.
Nah, peran kita untuk anak ini juga sangat dipengaruhi oleh seberapa paham kita akan milestones anak. Ketika anak-anak masih newborn, enggak mungkin dong kalau kita mengutamakan peran sebagai teman hehehe. Sebaliknya, ketika anak sudah remaja, peran sebagai teman mungkin bisa sangat diperlukan dalam proses pencarian jati diri anak.
4. Belajar Mindful Parenting
Pada dasarnya, Mindful Parenting itu artinya mengasuh anak secara sadar. Metode ini ada syaratnya: sebelum mengasuh anak secara sadar, kita mestinya juga “sadar” terlebih dahulu tentang apa saja yang telah terjadi pada diri kita dan apa saja yang akan kita berikan pada anak.
Kamu bisa belajar hal ini dari buku seperti The Danish Way of Parenting yang memberi pandangan parenting ala Denmark, Keluarga Kita, atau mengikuti praktik-praktik terbaru. Pada dasarnya, metode ini membuat kita meletakkan kacamata dan mengaji kembali tentang pola parenting alam bawah sadar yang telah kita terima.
Misalnya, ketika anak menumpahkan air putih. Kalau kita saat kecil sering dimarahi dalam kondisi yang sama, besar kemungkinan kita juga akan menerapkan itu pada anak. Kecuali, kalau kita mau mengambil jeda dan berpikir ulang: perlukah aku marah-marah?
Metode ini nggak bisa dipelajari dengan singkat. Aku pun juga masih sering terpeleset, tetapi aku berusaha konsisten dalam menerapkan ke anak.
5. Normalisasi Diskusi Setelah Perbedaan Pendapat
Kita mungkin dulunya besar dengan model didikan yang otoriter. Harus manut, nggak perlu tanya alasannya. Akhirnya saat besar, anak-anak jadi sering memberontak. Sementara anak zaman sekarang, diajak makan sayur aja tanya dulu, “kenapa sih harus makan sayur?” ehehehe.
Terkadang, perbedaan pendapat mengarah pada pertengkaran. Kalau anak sudah remaja, ini mungkin terjadi. Anakku yang masih TK saja kalau ngotot ingin bermain tapi sudah tidak aku perkenankan karena sudah waktunya tidur, dia bisa marah banget. Besoknya, aku tetap bertanya padanya tentang kondisi dirinya, bagaimana mood-nya, dan kami akan membicarakan tentang perdebatan semalam.
Mungkin kita dan anak perlu waktu untuk berdamai dengan diri masing-masing, ya tidak apa-apa. Ambil waktu, tetapi upayakan jangan menunda-nunda untuk membicarakan tenang perdebatan kalian dengan anak. Kalau bicara tentang hal-hal yang tidak enak saja masih terasa canggung, kelak ketika dewasa, anak juga bakal dengan mudah menyembunyikan perihal yang penting dalam hidupnya.
6. Normalisasi Meminta Maaf
Orang tua zaman dulu pasti gengsi abis doong ya kalau minta maaf sama anak. Satu banding seribu kayaknya deh hehehe. Coba, yuk, kita terapkan tips parenting untuk anak yang baik dengan minta maaf apabila kita melakukan kesalahan pada anak. Terutama ketika kita baru saja melampiaskan amarah pada anak.
Kesalahan seperti apa, sih? Misalnya, kesalahan sepele seperti salah mengambilkan baju hingga kesalahan seperti marah besar hingga memukul anak.
Anak-anak kita yang masih kecil, khususnya di bawah usia 5 tahun, terkadang memang nggregetno. Bikin gemes, deh. Namun, seringkali itu adalah buah keingintahuan mereka, bukan karena mereka sengaja.
Oleh karena itu kalau kita sudah terlanjur marah, misalnya karena memang kita memiliki watak bawaan pemarah atau sedang dalam mood yang buruk, ya minta maaflah. Minta maaf tanpa tapi dan mengakui bahwa bunda tidak seharusnya marah seperti itu kepada anak.
7. Maksimalkan Peran Ayah
Pola parenting zaman dulu kerap membebankan pengasuhan di pundak ibu. Ayah sudah sangat lelah mencari nafkah, lha emangnya ibu juga enggak lelah urus rumah seharian? Hehehe. Tanggungjawab seorang ayah memang besar. Selain sebagai kepala keluarga yang memberi nafkah lahir, seorang ayah juga harus mampu hadir dalam kehidupan anak dan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan anak.
Gimana cara memaksimalkan peran ayah untuk pengasuhan anak kalau LDR sama suami?
Ya ketika suami sedang di rumah, upayakan perbanyak waktu untuk bersama anak. Tanpa gadget, kalau bisa ya berdua aja. Rasakan dinamikanya, selami dunia anak. Karena ya hanya itu satu-satunya cara untuk memiliki ikatan yang baik dengan anak. Jangan sampai, nih, sudah jarang ada waktu dengan anak, tetapi begitu melihat anak tidak mau makan sayur langsung marah-marah. Coba saja tanya dulu, kenapa tidak suka sayur? Bisa saja anak memiliki alasan lain atau gemar dengan jenis makanan lain.
8. Tanamkan Kebiasaan dan Rutinitas Bersama Orang Tua
Mau dikangenin oleh anak sampai kapan pun? Buat rutinitas yang menyenangkan. Coba tanyakan pada diri sendiri, kita paling dekat dengan siapa di dalam keluarga? Apa aktivitas yang paling kita ingat dengan anggota keluarga tersebut? Seringkali itulah aktivitas yang rutin kita lakukan bersama.
Rutinitas bukan sekadar membiasakan aktivitas tertentu, tetapi juga membuat anak belajar tentang pentingnya sebuah nilai dan kebersamaan. Rutinitas bisa membantu kehidupan kita sebagai keluarga berjalan lebih lancar. Ada beberapa skill yang berkembang pada anak seperti merasa aman, keterampilan hidup yang terasah, dan kebiasaan sehat. Anak yang memiliki rutinitas yang baik juga bisa mengatur rencana, mengurangi stres, dan kelak akan memahami esensi disiplin positif.
Beberapa kebiasaan baik yang dapat kita lakukan bersama anak seperti rutin berpelukan pada pagi hari, rutin saling berdoa setiap malam, rutin berolahraga bersama, membaca bersama, makan bersama, beribadah bersama, dan menonton film bersama.
9. Hidupkan Humor dan Diskusi yang Sehat
Humor menambah semarak dalam keluarga. Apa jadinya dalam satu keluarga susah sekali tertawa bersama, pasti spaneng banget deh rasanya. Humor bisa kita dapatkan dari berbagai sumber, bisa dari tingkah laku adik yang lucu, kekonyolan ayah yang aneh, serta hal-hal yang kita tonton bersama. Hindari humor yang menyakitkan orang lain dan yang bersifat seksis, ya.
Diskusi yang sehat dapat menambah wawasan dan memicu dorongan internal pada anak. Dorongan internal atau intrinsic motivation seringkali bertahan lebih lama karena muncul dari dalam diri dan secara alami dapat memuaskan rasa ingin tahu anak atau mendorong ia untuk mempelajari sesuatu.
Bicarakan apapun bersama anak. Tentu saja hal ini kita sesuaikan dengan usianya, ya. Kalau masih toddler, bicarakan tentang alam, warna, dan ragam binatang. Tanyakan padanya mengapa ia suka ini dan itu, dengarkan pendapatnya tentang hal-hal yang tidak dia sukai dan ia gemari.
Ini membantu kita mengenal dunia anak dan mengurangi dorongan untuk menghakimi pendapat anak. Buatlah space yang aman bagi anak agar mereka bebas mengeluarkan uneg-uneg dan bangun diskusi yang baik dengan mereka. Cara ini dapat kita gunakan pula apabila ingin mengajak anak untuk lebih giat beribadah. Contohnya, nih, daripada kita memaksanya untuk mengenakan jilbab, sebaiknya kita memberi contoh pada bahwa bundanya selalu berjilbab. Selain itu, bisa juga kita kenalkan melalui cerita dan tanya pendapatnya mengenai jilbab.
Percayalah, ada rasa haru dan lega ketika melihat anak sendiri yang meminta memakai jilbab ketika keluar rumah. Rasa yang jauh lebih menyenangkan ketimbang melihatnya berkata “Yaudah…” ketika kita meminta.
Penutup
Sembilan tips parenting untuk anak dariku ini hanyalah permukaannya saja ya, Bunda. Kamu bisa memperdalam dengan belajar dari buku maupun kelas-kelas parenting yang berkualitas. Semoga kita bisa terus menanamkan cinta untuk anak, agar kelak kita bisa mendapatkan cinta yang tulus dari anak dan anak juga bisa mengaplikasikan kebaikan itu untuk orang lain.
Apakah Bunda ada tips lainnya? Boleh kalau mau berbagai di kolom komentar, ya.
Sepakat banget kak sama tipsnya. Memang tiap anak punya karakteristiknya masing" yg unik yg terkadang susah ditebak.
BalasHapusKeren bund... moga aku bisa terapkan
BalasHapus